Monday, December 6, 2010

Tempat [yang seharusnya] Suci



Dari sekian banyak Tempat Suci [baca masjid atau mushola] yang aku kunjungi, ada 2 tempat yang sangat membekas di hati.
Tempat #1 adalah tempat suci yang sering aku kunjungi 19 tahun yang lalu [dan aku kunjungi lagi kira-kira setahun yang lalu]; sedangkan tempat yang #2 adalah tempat suci yang baru sekali aku kunjungi kira-kira 2 tahun yang lalu [dan [mungkin] tidak akan pernah aku kunjungi lagi]

Tempat suci #1
adalah sebuah tempat dengan nuansa hijau nan damai. Ternaungi pohon rindang dengan banyak ventilasi udara sehingga kegiatan menghadap Sang-Segala terasa sejuk. Di sudut ruang ada lemari mungil tempat mukena dan Al Quran yang tertata rapi. Tempat itu sangat terjaga dan terawat sehingga ’kesuciannya’ bisa terasa.

Namun saat aku mempunyai kesempatan lagi untuk kembali melakukan ibadah di sana setahun yang lalu [: saat itu yang terbayang adalah perasaan ’pulang’ untuk kemudian bisa menemukan ’kesucian’ yang dulu terasa], ada kecewa yang membuncah. Kalau soal mukena-mukena yang tak-bisa-disebut-putih berserakan di sudut ruangan, aku masih sedikit bisa memaklumi. Tapi soal potongan tulang ayam goreng - yang pada awalnya hampir tak terdeteksi lantaran hampir tertutup oleh kerubungan ribuan semut - teronggok ’anggun’ di lantai,... Duh Gusti, tak terkatakan betapa mirisnya hati.

Tempat suci #2 
adalah sebuah tempat di salah satu instansi pemerintah. Ketika aku berniat 'menemui' penciptaku di tempat sucinya, aku menemukan sebuah mushola yang 'bersih' dan di samping ruangnya ada tempat untuk berwudhu yang 'kering'. Menurut seorang ibu separuh baya yang aku temui di mushola, kran air di tempat wudhu itu tidak berfungsi. Si ibu yang juga berniat menunaikan kewajiban muslimnya di mushola itu tidak mempunyai jawaban ketika aku menanyakan dimana aku bisa berwudhu.

Karenanya, aku lantas berjalan menuju ruang kantor terdekat. 

Seorang ibu dengan seragam coklat yang aku temui di ruang itu terlongo saat aku tanyai dimana aku bisa berwudhu. Dengan separuh berbisik, dia menyambungkan pertanyaanku pada seorang bapak rekan kerjanya. Sang bapak dari balik layar monitor komputer mengatakan bahwa di sebelah utara kantor ada kamar mandi yang bisa aku pakai untuk mengambil air wudhu. Aku bergegas menuju arah yang ditunjuk setelah mengucap terima kasih. 

Setiba di kamar mandi yang dimaksud, aku mundur. Perasaan jijik dan ngeri membaur. Kamar mandi itu sangat kotor. Dinding kamar mandinya sangat kusam, bak mandi tempat menampung air terlihat hitam legam. Selintas ada sebuah pemikiran, jangan-jangan ada binatang yang bermukim di bak mandi itu [hehehe, lebay!].

Dan saat mataku menangkap keberadaan sebuah kran air yang tak jauh dari kamar mandi, ada sebuah lega. Dengan mengucap basmallah aku melangkah ke arah kran air itu dan berharap kali ini berhasil menemukan air bersih untuk bersuci. Alhamdulillah, ada air yang keluar dari sana saat aku memutar kran-nya. Maka aku bersiap mensucikan diri. Mulailah aku membasuh kedua tangan, Bismillaahir Rahmaanir Rahim. Ya Allah, hindarkan tanganku dari kedurhakaan terhadapMu...

Namun kegiatan wudhu itu terhenti ketika aku mulai berkumur. Rasa air yang keluar dari kran itu sangat anyir. Di tambah lagi, air yang mengucur semakin kecil untuk kemudian tak mengucur sama sekali. Lagi-lagi aku gagal menemukan air bersih.

Sedikit putus asa, aku berniat meninggalkan instansi tersebut dan melewati warung yang dijaga oleh seorang ibu berperawakan sintal. Apa salahnya aku mencoba sekali lagi? Maka aku memasuki warung itu dan bertanya,
"Ibu, mohon maaf numpang tanya, saya mau sholat tapi ga bisa nemuin tempat wudhu. Tempat wudhunya dimana ya, Bu?"
Tanpa menoleh ibu itu menjawab: "Nanya tempat wudhu kok di warung. Kalo nanya nasi ada!"


Aku terkesiap.
Tanpa kata aku meninggalkan warung itu. 
Dalam pasrah aku menyebut Sang Penguasa: Ya Allah, susahnya menghadapMu kali ini.



>()<
Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu 
dan bukakanlah untukku pintu-pintu karunia-Mu





No comments:

Post a Comment