Sunday, December 26, 2010

Memaafkan

Ketika aku menginjakkan kaki di tempat itu dan mendapatkan tatapan sinis yang 'menelanjangi' dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku menyadari bahwa bagi orang-orang itu aku adalah 'sampah'.

Namun sebagai 'sampah' yang dari awal memang tidak merasa 'kesampahan'nya, aku mendatangi mereka dengan tetap menegakkan kepala, memberikan senyumku sebagai bentuk sedekah, dan sapaan tulus meski berbalas buangan muka.

Beberapa waktu setelah kejadian itu berlalu aku mempertanyakan dari mana asal keberanianku menghadapi mereka. Dan jawaban pasti dari hatiku adalah keberanian itu berasal dari kebenaran yang ada.

Jadi bukan lantaran aku sombong, - bukan pula karena aku tak punya rasa malu maka aku berani menghadapi dan mematahkan tatapan sinis mereka kala itu. Namun keyakinan bahwa aku benar lah yang mampu menepis rasa mundur.

Mungkin aku kalah dalam kesendirian di mata mereka. Tapi ijinkan aku berbangga sekarang; karena dalam senyum aku justru merasa aku lah sang pemenang.


Semulia-mulia manusia ialah ia yang mempunyai adab yang baik, merendahkan diri ketika ia berkedudukan tinggi, memaafkan ketika ia mampu membalas, dan bersikap adil ketika ia memliki kekuatan.
(Khalifah Abdul Malik bin Marwan)

Thursday, December 16, 2010

Di Ujung Lelapku

Penat setelah kegiatan sehari penuh mengantarku pada lelah yang terasa sungguh. Tapi aku ga pengen melewatkan waktu untuk berbincang bareng ayahbunda seperti yang sudah-sudah.

Jadi, aku sdikit memaksakan diri untuk tetap terjaga waktu ayahbunda bercengkerama di ruang keluarga.

TV menyala. Ayahbunda berbincang di sofa. Di hamparan karpet aku merebah.

Skian waktu aku lewati menonton acara di televisi yang berkali-kali aku ubah channelnya. Sesekali ikut masuk dalam perbincangan ayah dan bunda, hingga tiba saat kantukku mulai melanda.

Tubuhku melemah. Berat mata tak terkuasai.

Ketika mata rapat mengatup dan nafas mulai teratur berhembus; di ujung lelapku, aku menangkap perbincangan ayah dan bunda.

Di perbincangan itu, bunda berniat membangunkan aku untuk menyuruhku pindah dan melanjutkan tidur di kamar; sementara, - melihat 'lelap'ku - ayahanda melarang dengan alasan kasihan.

Aku yang waktu itu memang belum benar-benar terlelap membalik badan, menggeliat pelan mencoba 'melelapkan diri' dalam kepura-puraan. 
     Sebuah haru merayap; memaksa buliran air mata menggenang.

Detik waktu berselang.
Aku merasakan suara televisi yang melemah, ada sehelai selimut membungkus tubuhku dan suara kipas angin lembut menderu.
        : ayahbunda membiarkan aku tetap lelap dan menciptakan 'kenyamanan' untuk mengabadikan lelapku.

Saat itu, aku mencatat lagi bentuk kasih sayang ayahbunda - meski sederhana: dalam masing-masing pandangan dan cara beliau berdua.
Tangki cintaku terisi!

Adalah Harapan dan Doa,

Yang tak lepas dari pintaku. Selalu.


Itulah sebab, manakala hati bercengkerama dengan Sang Maha Penakluk, dalam tunduk khusyuk di setiap pejaman mata di tiap gelap yang membungkus,... hanya dia yang terpinta.
         Memohon dengan kerendahan hati yang tak jarang berimbuh paksa bahwa apa yang terasa dalam hati dan teryakini tentang dia adalah untukku dan memang yang terbaik.

Tenahak yang lantas tumbuh adalah ketika aku harus mau menerima bahwa apa yang menurutku terbaik belum tentu benar-benar yang terbaik. 

Namun aku tetap inginkan sebuah bahagia untuknya. Pasti.
     Meski mungkin bahagia itu mewujud bukan karena keberadaanku di sampingnya. Tapi bahwa aku ingin dia bisa selalu tertawa untuk pancarkan bahagianya, tak pernah luput hati ini memohon pada Sang Pemilik Nyawa.

Aku tahu pasti, Tuhanku mendengar semua pinta. Sepasti tahuku, bahwa ada saat pintaku akan mewujud nyata.
Maka dalam setiap hembus nafas yang tersisa, tak pernah luput hati ini memohonkan dia.

: Hingga tiba saat Sang Maha Segala menunjukkan Kariim dan MujiibNya!



[dia tetap selalu
tak lepas dari pintaku,
karena dia
adalah harapan dan doa
yang [akhirnya Tuhan berikan juga]
mewujud nyata dalam langkahku
...
dia,
bagiku,...
segalanya!]

Wednesday, December 15, 2010

Perang Batin


Hal yang sangat sulit kita lakukan adalah ketika kita harus menipu diri sendiri.
Melakukan sswatu yang bertentangan dengan hati. Berpura-pura senang pada sswatu yang sebenarnya ga kita suka; atau sbaliknya, - berpura-pura tidak senang pada sswatu yang sebenarnya sangat kita suka.

Bberapa waktu lalu, ketika aku mulai melakukan itu: melalukan sswatu yang aku tidak suka dan berpura-pura senang melakukannya; Melakukan seperti lirik lagu Slank: '... Kutertawa walau hati kecewa, ya kucoba untuk tetap tertawa. Kubernyanyi walau hati menangis, ya kucoba untuk tetap bernyanyi...' - yang aku rasakan adalah sakit!

Ketika bibirku menyunggingkan senyum smentara kedua pipiku terbanjiri air mata, hatiku benar-benar tersayat. Kala itu, aku ga peduli dengan sebutan munafik atau apalah-sok atuh-whatever-terserah, karena yang ada di benakku hanya bimbang. Aku seolah layang-layang putus tak bertuan, terbang terbawa angin, meliuk tanpa arah. Ada ragu, takut, resah, marah,... semua tercampur sempurna. 

Setiap mata ini terpejam, hujatan hati menggelegar. Setiap langkah terayun, cacian hati mengalun...

        Lalu, mulailah perang batin itu!
Dengan tangis dan doa yang beradu. Dengan asam lambung yang meningkat. Dengan tidur yang tak lelap dan makan yang tak nikmat; Aku mencoba untuk tetap berdiri tegak!
: Brusaha menerima semuanya meski perih merajam; Berharap smoga perang ini secepatnya usai.


::||::
 Sebagian kita emang kadang ngrasa ragu untuk mengatakan sbuah kejujuran
[inget 'motto' kita dulu ga bro: ... JUJUR AJUR!!!]

Adalah Nafas,

Yang membuatku bisa hidup.


Itulah mengapa aku ingin dia selalu ada.
Setiap saat. Kapanpun. Dimanapun.

Sebab meski hanya sekedip mata tanpanya, ada sembilu yang menghantam dada. Meninggalkan sesak yang mempersulit aku mendapatkan udara.
Maka tak ada hasrat yang melebihi dari ingin menghirup segar udaranya demi kelangsungan hidupku.

Aku lantak oleh kesadaran bahwa tak bisa aku melangkahkan kaki menapak hari tanpa dia. Tak sanggup diri melewati detik-detik berlalunya waktu bila dia tak di sampingku.

Sungguh!

Aku butuh dia selalu ada.
Setiap saat. Kapanpun. Dimanapun.

Maka dia harus selalu ada.
Setiap saat. Kapanpun. Dimanapun.



 [karena dia 
adalah nafas,
yang mengiringi jiwa raga
dan senantiasa terbutuhkan]

Tuesday, December 14, 2010

Adalah Cinta,

Yang mengharubirukan hati.


Sebab saat aku berusaha untuk menggebah rasa dan mencoba bangun dari mimpi, aku terperangkap dalam perang batin.
Lantas aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku terlanjur lelap.

Manakala aku pada akhirnya bisa semakin sedikit mendekat
        : merasakan gairah yang tak kunjung padam dalam setiap detik yang terlewati, bahagia tak berkesudahan demi menikmati segala keindahannya dalam sejengkal jarak, teracuni gelisah terlanda rindu meski telah membawa pulang sisa-sisa harumnya yang melekat,...
        
        dan juga perih - saat aku tahu bahwa bukan hanya aku yang bisa membuatnya bahagia.

Aku menjadi lebih terpuruk!

Dengan puing-puing ketegaran aku mencoba tetap tegak; mencoba untuk menjadi sahabat yang sempurna untuknya, - paling tidak memberikan yang terbaik yang aku punya.


[ternyata,
aku baru menyadari,
bahwa dia benar-benar
adalah cinta,
yang membuat aku merasa hidup
dengan segenap kesyahduannya
(: tawa, tangis, benci, bahagia
rindu, kecewa, dan cemburu)]

Dia adalah Mimpi,

Yang tak pernah sedikitpun terpikir akan teraih.


Meski ingin sekali aku mengatakan pada dunia betapa aku mencintainya. Sepenuh jiwa - hingga aku tak akan ragu mengucap sumpah: bahwa apapun akan aku lakukan asal dia bahagia.
Tak 'kan tersangkal, betapa aku selalu menyambut pagi dengan harapan bertemu dengannya di sepersekiandetik waktuku. Namun meski sepersekiandetik yang tersuguh; bagiku itu sudah lebih dari cukup; karena bahkan walau hanya sekedip mata kelebat bayangannya tertangkap retina, aku mampu menghirup harum tubuhnya laksana mencium harum surga,...

Tapi bodohku yang tak miliki keberanian untuk mengatakan bahwa aku cinta!
[Bahkan sekalipun untuk sekedar menunjukkan bahwa aku ada!!!]

Aku hanya diam di sini

        : menikmati keindahan surgawinya dari jauh; merasakan sejuk yang merayap pelan di sanubari kala melihatnya tersenyum. Mencoba memuaskan hati dengan cara itu meski sungguh hasrat ingin menggenggam erat senyumnya untuk kemudian memilikinya sepanjang waktu.

Lantas, semakin terpuruklah aku oleh ketidakberdayaan yang terus menghantu,
... sementara waktu kian berlalu dengan angkuh.


[sungguh,...
dia adalah mimpi
yang ada dalam ruang hati yang teryakini
jauh tak kan terjangkau]

Bagiku,...

Dia adalah mimpi,
yang ada dalam ruang hati yang teryakini
jauh tak kan terjangkau

yang membuatku merasa hidup
dengan segenap kesyahduannya
(: tawa, tangis, benci, bahagia,
rindu, kecewa, dan cemburu)

yang mengiringi jiwa raga
dan senantiasa terbutuhkan

yang [akhirnya Tuhan berikan juga]
mewujud nyata dalam langkahku

...

Dia,
bagiku,...
segalanya!



:||:
Dedicated to:
PARA PECINTA
semua hati yang [pernah, sedang, dan/atau akan] merasakan keindahan dicintai dan mencintai

Monday, December 6, 2010

Tempat [yang seharusnya] Suci



Dari sekian banyak Tempat Suci [baca masjid atau mushola] yang aku kunjungi, ada 2 tempat yang sangat membekas di hati.
Tempat #1 adalah tempat suci yang sering aku kunjungi 19 tahun yang lalu [dan aku kunjungi lagi kira-kira setahun yang lalu]; sedangkan tempat yang #2 adalah tempat suci yang baru sekali aku kunjungi kira-kira 2 tahun yang lalu [dan [mungkin] tidak akan pernah aku kunjungi lagi]

Tempat suci #1
adalah sebuah tempat dengan nuansa hijau nan damai. Ternaungi pohon rindang dengan banyak ventilasi udara sehingga kegiatan menghadap Sang-Segala terasa sejuk. Di sudut ruang ada lemari mungil tempat mukena dan Al Quran yang tertata rapi. Tempat itu sangat terjaga dan terawat sehingga ’kesuciannya’ bisa terasa.

Namun saat aku mempunyai kesempatan lagi untuk kembali melakukan ibadah di sana setahun yang lalu [: saat itu yang terbayang adalah perasaan ’pulang’ untuk kemudian bisa menemukan ’kesucian’ yang dulu terasa], ada kecewa yang membuncah. Kalau soal mukena-mukena yang tak-bisa-disebut-putih berserakan di sudut ruangan, aku masih sedikit bisa memaklumi. Tapi soal potongan tulang ayam goreng - yang pada awalnya hampir tak terdeteksi lantaran hampir tertutup oleh kerubungan ribuan semut - teronggok ’anggun’ di lantai,... Duh Gusti, tak terkatakan betapa mirisnya hati.

Tempat suci #2 
adalah sebuah tempat di salah satu instansi pemerintah. Ketika aku berniat 'menemui' penciptaku di tempat sucinya, aku menemukan sebuah mushola yang 'bersih' dan di samping ruangnya ada tempat untuk berwudhu yang 'kering'. Menurut seorang ibu separuh baya yang aku temui di mushola, kran air di tempat wudhu itu tidak berfungsi. Si ibu yang juga berniat menunaikan kewajiban muslimnya di mushola itu tidak mempunyai jawaban ketika aku menanyakan dimana aku bisa berwudhu.

Karenanya, aku lantas berjalan menuju ruang kantor terdekat. 

Seorang ibu dengan seragam coklat yang aku temui di ruang itu terlongo saat aku tanyai dimana aku bisa berwudhu. Dengan separuh berbisik, dia menyambungkan pertanyaanku pada seorang bapak rekan kerjanya. Sang bapak dari balik layar monitor komputer mengatakan bahwa di sebelah utara kantor ada kamar mandi yang bisa aku pakai untuk mengambil air wudhu. Aku bergegas menuju arah yang ditunjuk setelah mengucap terima kasih. 

Setiba di kamar mandi yang dimaksud, aku mundur. Perasaan jijik dan ngeri membaur. Kamar mandi itu sangat kotor. Dinding kamar mandinya sangat kusam, bak mandi tempat menampung air terlihat hitam legam. Selintas ada sebuah pemikiran, jangan-jangan ada binatang yang bermukim di bak mandi itu [hehehe, lebay!].

Dan saat mataku menangkap keberadaan sebuah kran air yang tak jauh dari kamar mandi, ada sebuah lega. Dengan mengucap basmallah aku melangkah ke arah kran air itu dan berharap kali ini berhasil menemukan air bersih untuk bersuci. Alhamdulillah, ada air yang keluar dari sana saat aku memutar kran-nya. Maka aku bersiap mensucikan diri. Mulailah aku membasuh kedua tangan, Bismillaahir Rahmaanir Rahim. Ya Allah, hindarkan tanganku dari kedurhakaan terhadapMu...

Namun kegiatan wudhu itu terhenti ketika aku mulai berkumur. Rasa air yang keluar dari kran itu sangat anyir. Di tambah lagi, air yang mengucur semakin kecil untuk kemudian tak mengucur sama sekali. Lagi-lagi aku gagal menemukan air bersih.

Sedikit putus asa, aku berniat meninggalkan instansi tersebut dan melewati warung yang dijaga oleh seorang ibu berperawakan sintal. Apa salahnya aku mencoba sekali lagi? Maka aku memasuki warung itu dan bertanya,
"Ibu, mohon maaf numpang tanya, saya mau sholat tapi ga bisa nemuin tempat wudhu. Tempat wudhunya dimana ya, Bu?"
Tanpa menoleh ibu itu menjawab: "Nanya tempat wudhu kok di warung. Kalo nanya nasi ada!"


Aku terkesiap.
Tanpa kata aku meninggalkan warung itu. 
Dalam pasrah aku menyebut Sang Penguasa: Ya Allah, susahnya menghadapMu kali ini.



>()<
Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu 
dan bukakanlah untukku pintu-pintu karunia-Mu





Wednesday, December 1, 2010

Dua Cinta


Pintu terbuka yang aku lalui hingga kemudian aku 'terjebak' dalam irama dosa adalah ketika aku tahu bahwa ternyata rasa ini bersambut. Lalu irama dosa itu menjadi semakin terlantun merdu oleh pembenaran-pembenaran yang [jujur saja] sengaja aku rajut.

Tapi jangan tudingkan salah padaku!
: sebab aku tak punyai daya untuk mencegah semua rasa.

Kiranya aku terlanjur tenggelam dan kian terpuruk oleh ketidakberdayaan - yang entah sengaja [juga] atau tidak telah tercipta. 

Karena setiap kali aku mencoba untuk tak hirau, berulang kali pula tak bisa kupungkiri bahwa aku sungguh cinta. Semakin aku merasa bahwa aku tak boleh berada dalam dua cinta, semakin aku merasa ingin tetap berada di dalamnya.

Namun aku ingin berdalih, 

: jika dan andai aku mendapat kesempatan untuk kembali, pintu itu tak akan pernah aku lalui. 
     Tak akan !!!
 

Aku tidak pernah bisa mengingat kapan rasa ini tumbuh. 
Yang aku tahu, rasa ini terus tumbuh seiring sering hadirnya bayanganmu.

Aku juga tidak bisa mengingat kapan rasa ini semakin meraja.
Yang aku tahu, rasa ini kian meraja seiring sadarku tentang cinta.



  •  
:: ,... aku tak bermaksud membuatmu sungguh tak berarti ::
[jangan terusin cerita itu Za, cos aku tau 'mengakui' itu udah sangat nyiksa]

Saturday, November 20, 2010

Tuhan Memberi Luka

        

          Luka itu sebenarnya tidak terlalu besar.

Namun karena letaknya tepat di perut ibu jari tangan kanan, luka itu menjadikan semua gerak aktivitas [: memegang, menulis, menyentuh,...] cukup terganggu.

Dan karena luka itu memang hanya sebuah luka kecil, maka luka itu teremehkan dengan tidak terobati - yang kemudian menyebabkan luka itu melebar hingga tak kunjung sembuh. Semua gerak aktivitas yang tadinya hanya cukup terganggu menjadi sungguh terganggu.

        Hingga tiba saat sebuah gerak aktivitas membuat luka itu semakin menganga dan terasa perih:
... menumpahkan air mata.

        Saat air mata itu menetes pelan, ada sebuah bisikan yang menyentuh lembut di benak: betapa luka sekecil itu mampu membuat 'gangguan' sedemikian 'hebat'.

[Lantas teringatlah kisah Bambang Ekalaya:
yang rela memotong ibu jarinya demi baktinya pada Begawan Drona]

: Ternyata sebuah ibu jari yang mungil ini sungguh memiliki fungsi yang luar biasa. Tanpa dia, empat jari lainnya tak memiliki kuasa.

Maka muncullah luka baru yang lebih perih dan membuat air mata ini semakin tertumpah ruah.

Tuhan telah menunjukkan kasih sayangNya dengan 'sentuhan' lembut yang membuat si-lemah ini menyadari, bahwa terlahir dalam kesempurnaan sungguh merupakan nikmat yang sangat besar.

Luka kecil itu telah 'menampar'; sebab luka kecil itu telah membuat hati mengeluh, - sementara syukur atas telah lahir dalam kesempurnaan, selama ini belum satu kalipun terucapkan.



::||::
[Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?]


Saturday, November 13, 2010

Aku Mencintai Seseorang ...

Ketika dia tiba-tiba duduk di sampingku - menyapaku seperti biasa dengan sesungging senyum yang melekat di wajah tirusnya - untuk lantas kemudian diam terpaku; aku merasa ada sesuatu dalam dirinya yang tidak biasa.

Kemudian, dalam diamnya yang tanpa kata - nafas panjangnya yang terhela - dan sorot matanya yang menghampa; aku memberanikan diri untuk bertanya.

         Bercerita dia:

        Aku mengenal seorang gadis dua tahun yang lalu: Ni Luh Savitri namanya - sahabat adikku.
        Setahun yang lalu, dia lulus SMA dan memutuskan untuk kuliah di Surabaya. Sebagai satu-satunya orang yang dia kenal di Surabaya, aku tertuntut untuk selalu ada untuk dia: dalam segala hal!

        Singkat cerita, di kurun waktu satu tahun itu aku jatuh cinta: karena ternyata, dia adalah wanita yang sangat indah. Keindahan yang dimilikinya tak akan tertandingi oleh siapapun dan apapun. Sebab dia cantik! Sungguh teramat cantik!

         Dan semalam aku memberanikan diri untuk mengutarakan perasaanku padanya. Perasaan yang tidak mungkin lagi aku pendam, sebab semakin aku mencoba memendam rasa itu, semakin rasa itu tumbuh memabukkan.

         Tapi dia hanya menganggap aku sebagai seorang kakak, tak lebih. Dia menolak cinta yang aku tawarkan, sementara aku sudah terlanjur berharap banyak padanya.

         Aku mendengarkan cerita itu dan menanggapi dengan senyum.
[: bermaksud menghibur dan menyampaikan pesan dari senyuman itu bahwa semua akan baik-baik saja].

Kemudian tiba-tiba melintas bayangan seorang teman. Made Ayu Sartika. Gadis Bali tercantik dan terlembut yang selama ini aku kenal. Aku menunjuk Made dan menyarankan dia melupakan Ni Luh dan mendekati Made. Yakinku di hati saat itu: kecantikan dan kelembutan Made akan bisa cepat membuatnya melupakan Ni Luh dan beralih mencintai Made.

         Senyumnya mengembang.

Dia memandang ke arah Made sesuai arah yang aku tunjuk. Menatap gadis itu lekat-lekat. Mengarahkan padangannya ke arahku seraya menggelengkan kepalanya pelan untuk kemudian berkata:
"Aku mencintai seseorang bukan karena dia cantik. Tapi dia cantik karena aku mencintainya"

          Aku terkesima.



[Bahwa semua kata - huruf per huruf - 
yang terucap dari bibirnya sejak dia bercerita,
sungguh sangat menggetarkan 
sebab sarat oleh cinta.
: membuat hati ingin mengetahui,
seperti apakah gerangan
'kecantikan' seorang Ni Luh Savitri]



:|::|:
[Bli Gus, kalimat sakti itu top banget]
thumbs up

Wednesday, November 10, 2010

Perempuan di Mata (sparo) Dunia

Smua perbuatan yang dianggep masyarakat mrupakan perbuatan yang salah n kbetulan melibatkan laki-laki dan perempuan, pasti akan menjadi kesalahan si perempuan.

Skali lagi [with Bold, Italic, & Underline]: pasti akan menjadi kesalahan si perempuan.


[PARA PEREMPUAN PUN PROTES.
HAH??!!
GA BISA GITU DONG!!!]
 angry

Ok. Kita simak aja dua ilustrasi brikut.

Ilustrasi 1:
Seorang istri yang ninggalin anak dan swaminya demi laki-laki lain VS seorang laki-laki yang ninggalin anak dan istrinya demi perempuan lain. 

KOMENTAR DUNIA:
Kalo istri yang melakukan:
Idih!!! istri macem apa ih tega ninggalin suami ma anak demi laki-laki lain??

Tapi kalo suami yang melakukan:
Waahh, tu pasti istrinya bukan istri yang baek deh sampe swaminya pergi ma perempuan laen...

Ilustrasi 2:
Seorang gadis hamil di luar nikah VS seorang pemuda menghamili gadis di luar nikah

KOMENTAR DUNIA:
Kalo seorang gadis yang mengalami:
Wekk!!! Jadi cewek kok ga bisa jaga diri!!!!

Tapi kalo seorang pemuda yang mengalami:
Yaaa,... namanya juga cowok. Kalo ceweknya kagak mau ga bakal kejadian kan?

Ada kesan 'ketidakadilan' yang tertangkap pada ilustrasi di atas bukan?

Tapi tolong lihat makna di balik 'ketidakadilan' itu:
Betapa perempuan 'dianggap' lebih bermartabat dibandingkan laki-laki sehingga 'dianggap' tidak pantas melakukan perbuatan tercela.

Bunda pernah bilang:
"Saat laki-laki berbuat kesalahan, dunia masih bisa tertawa. Tetapi jika perempuan yang berbuat kesalahan, maka dunia akan menangis"


>|||<

[kinget komentar seorang 'temen':
Iyee bener! cowok tu emang BUAYA, tapi cewek tu ULAR!]
laughing

Wednesday, November 3, 2010

Terlanda Rindu


Ternyata rasa itu belum terpangkas tuntas.
Sebab ketika bayanganmu hadir tak terencana,... aku merasa biru. Mungkin memang akar rasa itu sudah teramat kuat. Sekian waktu yang terasah membuat pangkasan yang terupaya tak terlalu membuahkan maksud.
          
Dan ketika malam itu aku kembali merasakan indah cintamu yang selama ini senyap, - dari peluk yang engkau rengkuhkan, senyum yang engkau berikan, dan tatapan mata yang sarat luapan cinta,  
: sungguh,... aku harus mengakui bahwa aku rindu; teramat sangat.

Aku tak menemukan jawaban ketika berulang kali aku bertanya, mengapa?
Mungkinkah karena dia yang begitu mengingatkan?
[ah, Cinta,... sungguh ada kamu dalam dia]
          
             Entah!!!

Aku hanya berharap satu.
Bila memang hanya sebatas ini yang termiliki, biarlah tetap ini yang termiliki. Hingga tiba saat upaya itu membuahkan yang termaksud dalam hati.

[tahukah kau Cinta, terkadang aku merasa bahwa diapun memiliki rasa. Ketika segenap perhatian dan pengertian yang terlimpah tersirat tulus, ketika tatapan matanya yang lembut menikam tajam, sebentuk tanya kerap menghujam: Adakah juga dianya dalam aku?]



:: merenungkanmu lagi menggugah haruku ::
[Di, emosi 'itu' merupakan bukti bahwa kita adalah manusia,...]

Saturday, October 30, 2010

Dongeng Indah Ayahanda #3


        Ketika Sang Raja kembali dari pancuran untuk membersihkan diri, dia melihat dipan tempatnya beristirahat tadi telah penuh oleh hidangan. Nasi harum yang mengepul, bermacam sayur dan lauk pauk yang tercium begitu lezat, ditambah setandan pisang yang amat ranum, sungguh membuat Sang Raja semakin merasa lapar. 
        Tak sadar Sang Raja menelan ludah.


        "Silakan Kisanak. Jangan sungkan. Hidangan sebanyak ini lebih dari cukup untuk kita bertiga" Perempuan tua itu berujar.

        Sang Raja menyambut tawaran itu penuh semangat. 
Diambilnya nasi penuh-penuh. Diguyurnya nasi itu dengan sayur dan dilengkapinya dengan bermacam lauk pauk yang terhidang. 

        Namun saat sesuap makanan itu masuk ke mulutnya,...

Sang Raja mengernyit hilang selera. Hidangan yang semula terlihat begitu lezat ternyata tidak berasa. 

Kemudian tiba-tiba, ada sebuah suara nan lembut yang ditujukan padanya, "Hambar Ayahanda?"

Sang Raja terhenyak! 
Suara itu!!??  
Seketika Sang Raja mendongak. Dugaannya tak salah. Didapatinya putri ketiga memegang sebungkus garam dengan senyum. Setelah menghaturkan sembah, putri ketiga berkata,

"Masakan itu memang sengaja tidak hamba beri garam, Ayahanda. Karena hamba ingin menunjukkan seperti itulah cinta hamba pada Ayahanda. Bahwa tanpa Ayahanda, hidup hamba sungguh terasa hambar"




FLASH BACK
Beberapa puluh tahun yang lalu;
- saat aku masih belum tahu gelapnya dunia, sesudah mendengar kisah ini dari ayahanda,...

Percakapan manis yang masih senantiasa terpatri dan berulang dalam hati:

"Ira sayang bapak?"
"Sayang!"
"Seberapa?"
"Segarem!!!"


 


*END*

Dongeng Indah Ayahanda #2

          Dengan perasaan yang tercabik Sang Raja berjalan tak tentu arah. Sang Raja membiarkan kakinya bergerak menuntun kemana dia melangkah.
        
        Hari berganti, minggu berlalu, bulan terlewati. 
        Tibalah Sang Raja di sebuah hutan yang lebat. Hutan yang bagi kebanyakan orang merupakan tempat yang menakutkan, justru menjadi tempat yang memberikan ketenangan bagi Sang Raja. Sebab Sang Raja tak perlu merasa harus khawatir bertemu dengan manusia dan menanggung malu karena keadaannya sekarang.

        Malam tiba.
        Gelap membungkus mata.
        Tiba-tiba Raja menyadari, bahwa tempat yang semula dianggapnya memberi ketenangan adalah tempat yang berbahaya.
        Bagaimana jika tiba-tiba ada Harimau yang menerkam? Bagaimana jika di dahan pohon tempat dia bersandar ada seekor ular besar yang lapar?
        Perasaan itu membuatnya mulai 'merindukan' manusia. Manusia yang semula dia hindari kini dia butuhkan keberadaannya. Bagi Sang Raja saat itu, lebih baik bertemu manusia dan merasa malu daripada harus bertemu binatang dan kehilangan nyawa.
        

Ketika mata Sang Raja sudah terbiasa oleh gelap hutan dengan bantuan cahaya bulan yang menerobos dedaunan dan belukar, Raja beranjak tertatih - bermaksud mencari tempat yang lebih aman untuk berlindung. Selang beberapa waktu, bersamaan dengan rasa lapar yang kian mengganggu, samar-samar Sang Raja melihat sebinar cahaya di depannya.
        Cahaya lampu minyak!
        Di tengah hutan? Sang Raja tak kuasa menahan heran. Oleh rasa penasaran ingin tahu secara pasti apakah benar apa yang dilihatnya, Sang Raja bergegas menuju arah cahaya.

        Cahaya itu berasal dari sebuah gubuk tua.
Terkalahkan oleh rasa was-was, penat, dan lapar, diketuknya pintu gubuk itu pelan.

        Pintu terkuak. Seorang perempuan renta berdiri di hadapannya.

        Bila biasanya kala bertemu dengan seseorang Sang Raja mendapatkan sembah, namun kali ini tidak. Pakaian dan badannya yang teramat kotor sama sekali tidak menampakkan bahwa dia adalah seorang Raja. Bahkan jika dibandingkan dengan perempuan renta yang ada di hadapannya, Raja terlihat seperti peminta-minta. Namun bukan sembah yang Sang Raja butuhkan saat itu.
        "Maafkan saya yang mengganggu waktu istirahat Anda, Ibu Tua. Tapi saya membutuhkan tempat untuk beristirahat di hutan yang gelap ini" Sang Raja menyampaikan maksudnya.

Perempuan tua itu menyambut dengan ramah. Dia mempersilakan Raja masuk ke gubuknya. Gubuk yang sangat sederhana, namun kebersihan dan kerapiannya sungguh terawat dan terjaga. Sempat terbersit tanya di benak Sang Raja, Bagaimana bisa perempuan setua itu mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri?
        "Melihat pakaian yang Kisanak kenakan, pasti Kisanak telah melakukan perjalanan yang sangat jauh" Sang Raja terkagetkan oleh pernyataan perempuan itu.

Dalam diam Sang Raja mengiyakan ketika kemudian perempuan tua itu mempersilakannya beristirahat di sebuah dipan. Sebagai seorang raja, dia memiliki dan masih mengingat tata krama. Tidak mungkin dia berlama-lama di gubuk itu hanya berdua dengan lawan jenisnya.
        "Saya tidak akan lama di sini, Ibu. Saya hanya ingin menumpang istirahat barang sejenak"  

Perempuan tua itu tersenyum. Seolah tahu apa yang terlintas di benak laki-laki kumal dan kotor di hadapannya.
        "Hilangkan dulu penat Kisanak setelah berjalan sekian lama,..." perempuan itu berkata,
        "Bersihkanlah badan Kisanak di pancuran yang tidak jauh dari gubuk ini, kemudian kita bersama-sama menikmati santap malam yang sedang disiapkan oleh anak gadis saya" lanjutnya.

Kalimat tersebut menjawab pertanyaan Sang Raja bahwa Perempuan Tua itu tidak tinggal di hutan ini seorang diri. Baru saja Sang Raja akan menjawab tawaran tersebut ketika perempuan tua itu kembali berkata,
        "Bila Kisanak memang ingin melanjutkan perjalanan, lakukan saja besok pagi. Malam ini, lebih baik Kisanak bermalam di sini" 

        Sang Raja tersenyum untuk kemudian mengangguk dan mengucap terima kasih.


Break lagi aahh...

Friday, October 22, 2010

Dongeng Indah Ayahanda #1

        Dahulu kala, tersebutlah sebuah kerajaan yang sangat termasyhur.

Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang sangat disegani. Dia memiliki kesaktian dan ilmu perang luar biasa. Karena kesaktian dan ilmu perangnya itulah, - yang juga disertai dengan prajurit-prajurit terlatih yang mendukungnya, - wilayah kekuasan kerajaan tersebut semakin luas dari waktu ke waktu.

Sang Raja begitu bangga dengan kekuasaan yang dimilikinya. Kebanggaan itu diwujudkan dengan membangun istana yang besar, indah dan megah di setiap wilayah baru yang berhasil dikuasainya. Tidak ada istana dari kerajaan lain yang bisa menandingi keindahan dan kemegahan istana-istana Sang Raja.

        Sang Raja memiliki tiga orang putri yang jelita dan sangat menyayangi ketiganya. Suatu ketika dia memanggil ketiga putrinya dan memberikan pertanyaan yang sama:
"Ayahanda sangat menyayangi kamu melebihi apapun di dunia ini. Seberapa besar balasan rasa sayangmu pada Ayahanda?"

Putri pertama menjawab: "Hamba Ayahanda. Cinta hamba kepada Ayahanda seluas wilayah kekuasaan Ayahanda"
        Sang Raja tersenyum puas.

Jawaban putri kedua pun tak kalah memuaskan Sang Raja.
Karena jawaban putri kedua adalah: "Hamba mencintai Ayahanda sebanyak istana Ayahanda yang indah dan megah"

Tiba giliran putri ketiga harus menjawab pertanyaan itu.
Berbeda dengan kedua kakaknya. Putri ketiga menjawab pertanyaan Sang Raja dengan jawaban yang sungguh tak terduga: "Segaram Ayahanda,..."

        Sang Raja murka!
Tiada ampun bagi seorang putri yang berani menghina Sang Raja penuh kuasa. Lantas diusirnya putri ketiga sebagai bentuk luapan amarahnya.




        TAHUN BERGANTI.

Sang Raja semakin renta. Kesaktian dan kekuatan yang dimilikinya memudar sudah,
        : kalah oleh waktu.

Merasa sudah tiba saatnya kedudukan Sang Raja digantikan, kedua putri Sang Raja mengambil alih kekuasaan kerajaan.
Seperti bentuk kasih sayang yang mereka tunjukkan beberapa tahun silam untuk menggambarkan besar cinta mereka pada Sang Raja, maka putri pertama mengambil alih seluruh kekuasaan Sang Raja, sementara putri kedua mengambil alih seluruh istana yang ada.

Dan karena dianggap sudah tidak berguna, Sang Raja diperlakukan semena-mena oleh kedua putrinya. Tak ada lagi kasih dan hormat yang selama ini mereka tunjukkan.
        ...
        Perih.
        Sang Raja merasa tersingkir dan memutuskan untuk meninggalkan istana.


Break dulu yaa, dilanjutin ntar...

 

Wednesday, October 20, 2010

Mencari Bahagia


Sebagian orang beranggapan bahwa kebahagiaan adalah kesejahteraan. Sebagian lagi beranggapan bahwa kebahagiaan adalah keluarga. Sementara sebagian orang yang lain mempunyai anggapan bahwa kebahagiaan adalah karier. Dan masih banyak lagi anggapan bentuk kebahagiaan dari sebagian kita.

Artinya, semua orang mempunyai bentuk kebahagiaannya masing-masing. Mereka mempunyai 'alasan' untuk pada akhirnya mengakui bahwa mereka bahagia. 
          
Karena bentuk dan alasan itulah, sebagian kita mencari bahagia.

Kita sibuk mencari 'JIKA': Kita bahagia JIKA kita bisa hidup sejahtera, untuk itu kita sangat sibuk mewujudkan kesejahteraan itu. Kita baru merasa bahagia JIKA mempunyai keluarga yang kita idamkan, oleh sebab itu kita berusaha sekuat kita untuk membentuk keluarga sesuai dengan harapan kita. Kita baru mau mengakui bahwa kita bahagia JIKA karier kita berada di puncak, maka setiap waktu yang kita miliki kita abdikan pada pekerjaan.

Kita baru merasa bahagia 'Jika A' atau 'Jika B'. Kita baru merasa bahwa hidup ini begitu indah karena bahagia 'Jika C' atau 'Jika D'.

Terbayangkah andai semua usaha kita mencari bahagia tersebut tidak membuahkan hasil?
bahwa semua usaha kita untuk mencari bahagia sekian waktu tersebut sia-sia?
Lantas kapankah kita bisa menemukan kebahagiaan yang kita cari?
Bagaimana dan kemana lagi kita harus mencari bahagia itu?

Tidak banyak dari kita yang mengetahui, bahwa sesungguhnya kita tidak perlu bersusah payah untuk mencari bahagia. Sebab sesungguhnya bahagia itu sudah ada di dalam hati kita. Hanya saja selama ini kita mengabaikan kebahagiaan itu. Karena kita begitu terfokus pada banyak sesuatu -yang notabene tidak dan/atau belum kita miliki saat itu- untuk akhirnya mau mengakui bahwa kita [sudah] bahagia.

Kalimat berikut ini bagi saya adalah sebuah penggugah. Penggugah bagi saya untuk menggerakkan jari-jari saya di atas keyboard dan mulai menulis tentang 'Mencari Bahagia':

"Seringkali kita baru merasa bahagia karena sebuah alasan tertentu. 
Tetapi alangkah indahnya jika kita merasa bahagia tanpa harus mempunyai alasan terlebih dahulu."

Kesimpulan yang saya petik dari kalimat itu adalah: betapa kita seringkali lupa bahwa sudah begitu banyak nikmat yang telah Sang Penguasa limpahkan pada kita. Sifat 'selalu-merasa-kurang' kitalah yang pada akhirnya membuat kita seringkali masih saja sibuk mencari bahagia.

... Sungguh merupakan sebuah kalimat penggugah yang membuat saya menyadari bahwa [sebenarnya] SAYA BAHAGIA!

::::


Thx to KEN:
yang udah 'transfer' kalimat Mr. Gobind itu spulang seminar kmaren

Monday, October 18, 2010

Little Story from CHandra - FAQ

Q:  Mengapa Chandra selalu ditulis dengan format 'CHandra' (dengan huruf H
     besar) bukan 'Chandra'?
A:  Karena cerita ini merupakan kisah dari seorang teman yang berinisial CH


Q:  Apakah cerita ini merupakan kisah nyata?
A:  Secara garis besar, YA!


Q:  Apakah semua pelaku dalam cerita 'Little Story from CHandra' benar-benar
     ada?
A:  Yang pasti, CHandra dan Pria di Lobby itu benar-benar ada


Q:  Mengapa memilih lokasi di Denpasar?
A:  No reason. Hanya sekedar untuk menyamarkan lokasi sebenarnya


Q:  Apa kisah di balik penulisan 'Little Story from CHandra'?
A:  Kisah ini terjadi sekitar 8-9 tahun yang lalu. Diceritakan oleh CH beberapa
     bulan setelah peristiwa. Draft cerita ini selesai ditulis pada bulan Mei 2003 
     dan dipublikasikan secara bertahap menjadi 3 bagian dalam blog ini 
     setelah mengalami sedikit revisi


Q:  Bagaimana kelanjutan cerita CHandra dan Pria di Lobby itu?
A:  Cerewet ahh!! Nanya-nanya mulu!!!

Saturday, October 16, 2010

Little Story from CHandra - Part 3

DENPASAR. [Tetap pada] HARI KE-5.
PUKUL 22:30 WITA. DI LOBBY HOTEL.

            CHandra melangkah sendirian menuju jajaran sofa yang tersedia. Mengarahkan kakinya ringan seraya menentukan tempat ternyaman. Pilihannya jatuh pada sofa panjang berwarna gading. Pantatnya menjejal bada bantalan, duduk bersandar dengan tangan terentang di puncak sandaran. Pergelangan kaki kanannya menopang tepat di atas lutut kaki kirinya. Kepalanya bergerak mengedarkan pandangan ke segenap penjuru lobby. Dia tengah menimbang-nimbang rencana. Sendirian begini, mo ngapain coba? batinnya jenuh.

            Nafasnya terhela panjang. Telapak kakinya yang hanya beralas sandal bergerak mengikuti lagu yang terputar di lobby dan lembut tertangkap telinganya. Sebenarnya tadi CHandra berencana mengajak Rico keliling Denpasar. Tapi ajakannya tak bersambut.

Lantas, percakapannya dengan Rico di telepon setengah jam yang lalu terputar kembali.

            “Rik?”
            “Yoo?”
            “Gua, CHandra!”
            “Yup!... ada apa, Bro?”
            “Jalan yuk!”
           
Sepi. Ajakan itu tak segera terjawab. Satu detik, dua detik, tiga detik.

            “Rik?” panggil CHandra.
            “Eh, iya, uhm,... gua,...” Rico tergeragap.
            CHandra menunggu.
            Namun sejurus kemudian CHandra teringat sesuatu. Ingatannya memunculkan sebuah perkiraan. Dan CHandra melontarkan perkiraan itu dalam batas keyakinan,
            “Oh!” katanya tertahan, ”lu,...???” tebaknya tergantung.
            “Iyya,... ” jawab Rico enteng. Dari suaranya, CHandra tahu Rico ber’iya’ dengan senyum.
            CHandra menghela nafas maklum,
            “Okeh! Have a nice sex!” olok CHandra jengah.
            Di seberang sana Rico tertawa renyah,
            “Thank you!”

CHandra menggeleng-gelengkan kepalanya tersenyum mengingat percakapan itu.

Rico.

CHandra mengenal Rico kurang lebih sejak tujuh tahun yang lalu. Sekian tahun mengenal seorang Rico, CHandra tahu betul kebiasaan sahabatnya itu.
Nyaris, setiap ada tugas ke luar kota, kebiasaan itu tak terlewat. Tidak seperti kalau dia bertugas bersama teman-teman yang lain. Khusus tugas bersama Rico, mereka pasti booking dua kamar.
Begitu pula saat ini.

Tiba-tiba handphonenya bergetar. Nama Rico tertera di layar.

“Ya?” jawab CHandra datar.
“Lu dimana?”
“Lobby”
“Oke”
Klik!
“??”
Busyet! Dimatiin!? batin CHandra heran.
Menganggap Rico sedang mabuk, CHandra tidak mempedulikan kejadian itu. Dia berdiri, menyusupkan handphone ke saku celananya sambil beranjak menuju rak koran di tengah ruangan, mengambil salah satu koran, kemudian berjalan kembali ke tempatnya semula.
Lembar demi lembar halaman Bali Post dia buka untuk mencari berita menarik.

Tiba-tiba,...

“Malam” sebuah suara menyapa.
“Malam” CHandra mendongak, di depannya berdiri seorang pria yang tidak dia kenal; senyumnya tersungging lebar sehingga sederet giginya yang rapi tertampak jelas.
“Mas CHandra?” masih dengan senyumnya orang itu bertanya.
“Ya?” jawab CHandra bimbang, darimana nih orang tau nama gua? batin CHandra heran.
“Sendirian?” tanya pria itu ramah.
“...” CHandra merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Sudah jelas dia sendirian di sini kan? Tapi tak urung dia melemparkan senyum. Koran di tangannya yang belum sempat dia baca terpaksa dia lipat demi alasan kesopanan.
“Hm, boleh saya duduk?” lanjut pria itu sambil melirik sofa tunggal yang terletak di depan sudut pandang CHandra.
CHandra mengangguk mempersilakan.
Setelah mendapat posisi duduk yang nyaman, pria itu kembali membuka percakapaan,
“Malam indah kaya gini, tidak semestinya dihabiskan sendirian, kan?”
CHandra mengernyitkan kening. Memandang pria itu lekat dengan tatapan tidak mengerti.
“Saya bisa nyariin temen buat mas CHandra”
CHandra menelengkan kepala, ”Maksudnya?”
“Ya temen. Cewek. Biar mas CHandra ga kesepian”
“Uhm,... maaf. Saya ga ngerti maksud Anda”
“Aahh!! Ga usah sungkan dan berAnda-anda mas CHandra!” pria itu tersenyum sambil mengibaskan tangannya ke udara, “saya beneran niat mo bantu kok. Saya bisa atur semuanya. Nah, mas CHandra pengen ditemenin cewek yang kaya gimana?” desak pria itu meyakinkan.
“???”
CHandra melongo. Heran.
Sebuah getar halus yang berasal dari handphonenya membuatnya kaget hingga berjingkat.
“Sebentar!” kata CHandra sambil buru-buru merogoh saku celana tempat handphonenya tersimpan.

1 message received.
Dari Rico!

“GW YG MINTA TU ORG NWARIN LU. TRIMA AJA. HEHEHE, HAVE A NICE SEX 2!”

Glek. CHandra menelan ludah.
Tanpa mengubah posisi kepala, pandangan matanya beralih dari layer handphone ke sosok pria yang ada di depannya.

Pria itu kini duduk dengan posisi miring. Mengusap-usap dagu dan tersenyum ke arahnya. Matanya menatap CHandra lekat. Menyapu seluruh tubuh CHandra yang lekuknya terpeta jelas lantaran kaos yang dibelinya tadi pagi menempel di tubuhnya cukup ketat.

CHandra gusar. Gelisah. SMS Rico menjelaskan maksud pria itu.
Rico gila. Sinting. Edan. Keparat tuh anak. CHandra tak habis-habis memaki dalam hati.
Tiba-tiba AC lobby terasa panas sehingga membuat CHandra berkeringat. Otot tubuhnya menegang. Bibirnya terkatup memperjelas bentuk rahangnya yang sempurna.

Melihat CHandra diam, pria itu mengubah posisi duduknya.
Menggeser pantatnya hingga ke ujung sofa sambil mendorong maju tubuhnya. Sikunya bertopang lutut dan jemarinya saling bertaut. Senyumnya terus tersungging sementara pandangan matanya tak lepas melumat tubuh CHandra; - pandangan mata yang sungguh membuat CHandra ingin muntah.
Setengah berbisik, pria itu berucap,
Well,...  katanya sambil menggoyangkan kepala,
“Kalau mas CHandra emang ga mo ditemenin cewek,...” dia menggantung kalimatnya sengaja memberi jeda.
Dalam senyumnya, pria itu memainkan lidahnya agar bibirnya basah,
“Saya bersedia nemenin mas CHandra” lanjutnya seraya menegaskan dengan anggukan kepala.

Nafas CHandra tertahan, “ANJRIIIITT!!!”


* END *