Saturday, October 30, 2010

Dongeng Indah Ayahanda #3


        Ketika Sang Raja kembali dari pancuran untuk membersihkan diri, dia melihat dipan tempatnya beristirahat tadi telah penuh oleh hidangan. Nasi harum yang mengepul, bermacam sayur dan lauk pauk yang tercium begitu lezat, ditambah setandan pisang yang amat ranum, sungguh membuat Sang Raja semakin merasa lapar. 
        Tak sadar Sang Raja menelan ludah.


        "Silakan Kisanak. Jangan sungkan. Hidangan sebanyak ini lebih dari cukup untuk kita bertiga" Perempuan tua itu berujar.

        Sang Raja menyambut tawaran itu penuh semangat. 
Diambilnya nasi penuh-penuh. Diguyurnya nasi itu dengan sayur dan dilengkapinya dengan bermacam lauk pauk yang terhidang. 

        Namun saat sesuap makanan itu masuk ke mulutnya,...

Sang Raja mengernyit hilang selera. Hidangan yang semula terlihat begitu lezat ternyata tidak berasa. 

Kemudian tiba-tiba, ada sebuah suara nan lembut yang ditujukan padanya, "Hambar Ayahanda?"

Sang Raja terhenyak! 
Suara itu!!??  
Seketika Sang Raja mendongak. Dugaannya tak salah. Didapatinya putri ketiga memegang sebungkus garam dengan senyum. Setelah menghaturkan sembah, putri ketiga berkata,

"Masakan itu memang sengaja tidak hamba beri garam, Ayahanda. Karena hamba ingin menunjukkan seperti itulah cinta hamba pada Ayahanda. Bahwa tanpa Ayahanda, hidup hamba sungguh terasa hambar"




FLASH BACK
Beberapa puluh tahun yang lalu;
- saat aku masih belum tahu gelapnya dunia, sesudah mendengar kisah ini dari ayahanda,...

Percakapan manis yang masih senantiasa terpatri dan berulang dalam hati:

"Ira sayang bapak?"
"Sayang!"
"Seberapa?"
"Segarem!!!"


 


*END*

Dongeng Indah Ayahanda #2

          Dengan perasaan yang tercabik Sang Raja berjalan tak tentu arah. Sang Raja membiarkan kakinya bergerak menuntun kemana dia melangkah.
        
        Hari berganti, minggu berlalu, bulan terlewati. 
        Tibalah Sang Raja di sebuah hutan yang lebat. Hutan yang bagi kebanyakan orang merupakan tempat yang menakutkan, justru menjadi tempat yang memberikan ketenangan bagi Sang Raja. Sebab Sang Raja tak perlu merasa harus khawatir bertemu dengan manusia dan menanggung malu karena keadaannya sekarang.

        Malam tiba.
        Gelap membungkus mata.
        Tiba-tiba Raja menyadari, bahwa tempat yang semula dianggapnya memberi ketenangan adalah tempat yang berbahaya.
        Bagaimana jika tiba-tiba ada Harimau yang menerkam? Bagaimana jika di dahan pohon tempat dia bersandar ada seekor ular besar yang lapar?
        Perasaan itu membuatnya mulai 'merindukan' manusia. Manusia yang semula dia hindari kini dia butuhkan keberadaannya. Bagi Sang Raja saat itu, lebih baik bertemu manusia dan merasa malu daripada harus bertemu binatang dan kehilangan nyawa.
        

Ketika mata Sang Raja sudah terbiasa oleh gelap hutan dengan bantuan cahaya bulan yang menerobos dedaunan dan belukar, Raja beranjak tertatih - bermaksud mencari tempat yang lebih aman untuk berlindung. Selang beberapa waktu, bersamaan dengan rasa lapar yang kian mengganggu, samar-samar Sang Raja melihat sebinar cahaya di depannya.
        Cahaya lampu minyak!
        Di tengah hutan? Sang Raja tak kuasa menahan heran. Oleh rasa penasaran ingin tahu secara pasti apakah benar apa yang dilihatnya, Sang Raja bergegas menuju arah cahaya.

        Cahaya itu berasal dari sebuah gubuk tua.
Terkalahkan oleh rasa was-was, penat, dan lapar, diketuknya pintu gubuk itu pelan.

        Pintu terkuak. Seorang perempuan renta berdiri di hadapannya.

        Bila biasanya kala bertemu dengan seseorang Sang Raja mendapatkan sembah, namun kali ini tidak. Pakaian dan badannya yang teramat kotor sama sekali tidak menampakkan bahwa dia adalah seorang Raja. Bahkan jika dibandingkan dengan perempuan renta yang ada di hadapannya, Raja terlihat seperti peminta-minta. Namun bukan sembah yang Sang Raja butuhkan saat itu.
        "Maafkan saya yang mengganggu waktu istirahat Anda, Ibu Tua. Tapi saya membutuhkan tempat untuk beristirahat di hutan yang gelap ini" Sang Raja menyampaikan maksudnya.

Perempuan tua itu menyambut dengan ramah. Dia mempersilakan Raja masuk ke gubuknya. Gubuk yang sangat sederhana, namun kebersihan dan kerapiannya sungguh terawat dan terjaga. Sempat terbersit tanya di benak Sang Raja, Bagaimana bisa perempuan setua itu mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri?
        "Melihat pakaian yang Kisanak kenakan, pasti Kisanak telah melakukan perjalanan yang sangat jauh" Sang Raja terkagetkan oleh pernyataan perempuan itu.

Dalam diam Sang Raja mengiyakan ketika kemudian perempuan tua itu mempersilakannya beristirahat di sebuah dipan. Sebagai seorang raja, dia memiliki dan masih mengingat tata krama. Tidak mungkin dia berlama-lama di gubuk itu hanya berdua dengan lawan jenisnya.
        "Saya tidak akan lama di sini, Ibu. Saya hanya ingin menumpang istirahat barang sejenak"  

Perempuan tua itu tersenyum. Seolah tahu apa yang terlintas di benak laki-laki kumal dan kotor di hadapannya.
        "Hilangkan dulu penat Kisanak setelah berjalan sekian lama,..." perempuan itu berkata,
        "Bersihkanlah badan Kisanak di pancuran yang tidak jauh dari gubuk ini, kemudian kita bersama-sama menikmati santap malam yang sedang disiapkan oleh anak gadis saya" lanjutnya.

Kalimat tersebut menjawab pertanyaan Sang Raja bahwa Perempuan Tua itu tidak tinggal di hutan ini seorang diri. Baru saja Sang Raja akan menjawab tawaran tersebut ketika perempuan tua itu kembali berkata,
        "Bila Kisanak memang ingin melanjutkan perjalanan, lakukan saja besok pagi. Malam ini, lebih baik Kisanak bermalam di sini" 

        Sang Raja tersenyum untuk kemudian mengangguk dan mengucap terima kasih.


Break lagi aahh...

Friday, October 22, 2010

Dongeng Indah Ayahanda #1

        Dahulu kala, tersebutlah sebuah kerajaan yang sangat termasyhur.

Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang sangat disegani. Dia memiliki kesaktian dan ilmu perang luar biasa. Karena kesaktian dan ilmu perangnya itulah, - yang juga disertai dengan prajurit-prajurit terlatih yang mendukungnya, - wilayah kekuasan kerajaan tersebut semakin luas dari waktu ke waktu.

Sang Raja begitu bangga dengan kekuasaan yang dimilikinya. Kebanggaan itu diwujudkan dengan membangun istana yang besar, indah dan megah di setiap wilayah baru yang berhasil dikuasainya. Tidak ada istana dari kerajaan lain yang bisa menandingi keindahan dan kemegahan istana-istana Sang Raja.

        Sang Raja memiliki tiga orang putri yang jelita dan sangat menyayangi ketiganya. Suatu ketika dia memanggil ketiga putrinya dan memberikan pertanyaan yang sama:
"Ayahanda sangat menyayangi kamu melebihi apapun di dunia ini. Seberapa besar balasan rasa sayangmu pada Ayahanda?"

Putri pertama menjawab: "Hamba Ayahanda. Cinta hamba kepada Ayahanda seluas wilayah kekuasaan Ayahanda"
        Sang Raja tersenyum puas.

Jawaban putri kedua pun tak kalah memuaskan Sang Raja.
Karena jawaban putri kedua adalah: "Hamba mencintai Ayahanda sebanyak istana Ayahanda yang indah dan megah"

Tiba giliran putri ketiga harus menjawab pertanyaan itu.
Berbeda dengan kedua kakaknya. Putri ketiga menjawab pertanyaan Sang Raja dengan jawaban yang sungguh tak terduga: "Segaram Ayahanda,..."

        Sang Raja murka!
Tiada ampun bagi seorang putri yang berani menghina Sang Raja penuh kuasa. Lantas diusirnya putri ketiga sebagai bentuk luapan amarahnya.




        TAHUN BERGANTI.

Sang Raja semakin renta. Kesaktian dan kekuatan yang dimilikinya memudar sudah,
        : kalah oleh waktu.

Merasa sudah tiba saatnya kedudukan Sang Raja digantikan, kedua putri Sang Raja mengambil alih kekuasaan kerajaan.
Seperti bentuk kasih sayang yang mereka tunjukkan beberapa tahun silam untuk menggambarkan besar cinta mereka pada Sang Raja, maka putri pertama mengambil alih seluruh kekuasaan Sang Raja, sementara putri kedua mengambil alih seluruh istana yang ada.

Dan karena dianggap sudah tidak berguna, Sang Raja diperlakukan semena-mena oleh kedua putrinya. Tak ada lagi kasih dan hormat yang selama ini mereka tunjukkan.
        ...
        Perih.
        Sang Raja merasa tersingkir dan memutuskan untuk meninggalkan istana.


Break dulu yaa, dilanjutin ntar...

 

Wednesday, October 20, 2010

Mencari Bahagia


Sebagian orang beranggapan bahwa kebahagiaan adalah kesejahteraan. Sebagian lagi beranggapan bahwa kebahagiaan adalah keluarga. Sementara sebagian orang yang lain mempunyai anggapan bahwa kebahagiaan adalah karier. Dan masih banyak lagi anggapan bentuk kebahagiaan dari sebagian kita.

Artinya, semua orang mempunyai bentuk kebahagiaannya masing-masing. Mereka mempunyai 'alasan' untuk pada akhirnya mengakui bahwa mereka bahagia. 
          
Karena bentuk dan alasan itulah, sebagian kita mencari bahagia.

Kita sibuk mencari 'JIKA': Kita bahagia JIKA kita bisa hidup sejahtera, untuk itu kita sangat sibuk mewujudkan kesejahteraan itu. Kita baru merasa bahagia JIKA mempunyai keluarga yang kita idamkan, oleh sebab itu kita berusaha sekuat kita untuk membentuk keluarga sesuai dengan harapan kita. Kita baru mau mengakui bahwa kita bahagia JIKA karier kita berada di puncak, maka setiap waktu yang kita miliki kita abdikan pada pekerjaan.

Kita baru merasa bahagia 'Jika A' atau 'Jika B'. Kita baru merasa bahwa hidup ini begitu indah karena bahagia 'Jika C' atau 'Jika D'.

Terbayangkah andai semua usaha kita mencari bahagia tersebut tidak membuahkan hasil?
bahwa semua usaha kita untuk mencari bahagia sekian waktu tersebut sia-sia?
Lantas kapankah kita bisa menemukan kebahagiaan yang kita cari?
Bagaimana dan kemana lagi kita harus mencari bahagia itu?

Tidak banyak dari kita yang mengetahui, bahwa sesungguhnya kita tidak perlu bersusah payah untuk mencari bahagia. Sebab sesungguhnya bahagia itu sudah ada di dalam hati kita. Hanya saja selama ini kita mengabaikan kebahagiaan itu. Karena kita begitu terfokus pada banyak sesuatu -yang notabene tidak dan/atau belum kita miliki saat itu- untuk akhirnya mau mengakui bahwa kita [sudah] bahagia.

Kalimat berikut ini bagi saya adalah sebuah penggugah. Penggugah bagi saya untuk menggerakkan jari-jari saya di atas keyboard dan mulai menulis tentang 'Mencari Bahagia':

"Seringkali kita baru merasa bahagia karena sebuah alasan tertentu. 
Tetapi alangkah indahnya jika kita merasa bahagia tanpa harus mempunyai alasan terlebih dahulu."

Kesimpulan yang saya petik dari kalimat itu adalah: betapa kita seringkali lupa bahwa sudah begitu banyak nikmat yang telah Sang Penguasa limpahkan pada kita. Sifat 'selalu-merasa-kurang' kitalah yang pada akhirnya membuat kita seringkali masih saja sibuk mencari bahagia.

... Sungguh merupakan sebuah kalimat penggugah yang membuat saya menyadari bahwa [sebenarnya] SAYA BAHAGIA!

::::


Thx to KEN:
yang udah 'transfer' kalimat Mr. Gobind itu spulang seminar kmaren

Monday, October 18, 2010

Little Story from CHandra - FAQ

Q:  Mengapa Chandra selalu ditulis dengan format 'CHandra' (dengan huruf H
     besar) bukan 'Chandra'?
A:  Karena cerita ini merupakan kisah dari seorang teman yang berinisial CH


Q:  Apakah cerita ini merupakan kisah nyata?
A:  Secara garis besar, YA!


Q:  Apakah semua pelaku dalam cerita 'Little Story from CHandra' benar-benar
     ada?
A:  Yang pasti, CHandra dan Pria di Lobby itu benar-benar ada


Q:  Mengapa memilih lokasi di Denpasar?
A:  No reason. Hanya sekedar untuk menyamarkan lokasi sebenarnya


Q:  Apa kisah di balik penulisan 'Little Story from CHandra'?
A:  Kisah ini terjadi sekitar 8-9 tahun yang lalu. Diceritakan oleh CH beberapa
     bulan setelah peristiwa. Draft cerita ini selesai ditulis pada bulan Mei 2003 
     dan dipublikasikan secara bertahap menjadi 3 bagian dalam blog ini 
     setelah mengalami sedikit revisi


Q:  Bagaimana kelanjutan cerita CHandra dan Pria di Lobby itu?
A:  Cerewet ahh!! Nanya-nanya mulu!!!

Saturday, October 16, 2010

Little Story from CHandra - Part 3

DENPASAR. [Tetap pada] HARI KE-5.
PUKUL 22:30 WITA. DI LOBBY HOTEL.

            CHandra melangkah sendirian menuju jajaran sofa yang tersedia. Mengarahkan kakinya ringan seraya menentukan tempat ternyaman. Pilihannya jatuh pada sofa panjang berwarna gading. Pantatnya menjejal bada bantalan, duduk bersandar dengan tangan terentang di puncak sandaran. Pergelangan kaki kanannya menopang tepat di atas lutut kaki kirinya. Kepalanya bergerak mengedarkan pandangan ke segenap penjuru lobby. Dia tengah menimbang-nimbang rencana. Sendirian begini, mo ngapain coba? batinnya jenuh.

            Nafasnya terhela panjang. Telapak kakinya yang hanya beralas sandal bergerak mengikuti lagu yang terputar di lobby dan lembut tertangkap telinganya. Sebenarnya tadi CHandra berencana mengajak Rico keliling Denpasar. Tapi ajakannya tak bersambut.

Lantas, percakapannya dengan Rico di telepon setengah jam yang lalu terputar kembali.

            “Rik?”
            “Yoo?”
            “Gua, CHandra!”
            “Yup!... ada apa, Bro?”
            “Jalan yuk!”
           
Sepi. Ajakan itu tak segera terjawab. Satu detik, dua detik, tiga detik.

            “Rik?” panggil CHandra.
            “Eh, iya, uhm,... gua,...” Rico tergeragap.
            CHandra menunggu.
            Namun sejurus kemudian CHandra teringat sesuatu. Ingatannya memunculkan sebuah perkiraan. Dan CHandra melontarkan perkiraan itu dalam batas keyakinan,
            “Oh!” katanya tertahan, ”lu,...???” tebaknya tergantung.
            “Iyya,... ” jawab Rico enteng. Dari suaranya, CHandra tahu Rico ber’iya’ dengan senyum.
            CHandra menghela nafas maklum,
            “Okeh! Have a nice sex!” olok CHandra jengah.
            Di seberang sana Rico tertawa renyah,
            “Thank you!”

CHandra menggeleng-gelengkan kepalanya tersenyum mengingat percakapan itu.

Rico.

CHandra mengenal Rico kurang lebih sejak tujuh tahun yang lalu. Sekian tahun mengenal seorang Rico, CHandra tahu betul kebiasaan sahabatnya itu.
Nyaris, setiap ada tugas ke luar kota, kebiasaan itu tak terlewat. Tidak seperti kalau dia bertugas bersama teman-teman yang lain. Khusus tugas bersama Rico, mereka pasti booking dua kamar.
Begitu pula saat ini.

Tiba-tiba handphonenya bergetar. Nama Rico tertera di layar.

“Ya?” jawab CHandra datar.
“Lu dimana?”
“Lobby”
“Oke”
Klik!
“??”
Busyet! Dimatiin!? batin CHandra heran.
Menganggap Rico sedang mabuk, CHandra tidak mempedulikan kejadian itu. Dia berdiri, menyusupkan handphone ke saku celananya sambil beranjak menuju rak koran di tengah ruangan, mengambil salah satu koran, kemudian berjalan kembali ke tempatnya semula.
Lembar demi lembar halaman Bali Post dia buka untuk mencari berita menarik.

Tiba-tiba,...

“Malam” sebuah suara menyapa.
“Malam” CHandra mendongak, di depannya berdiri seorang pria yang tidak dia kenal; senyumnya tersungging lebar sehingga sederet giginya yang rapi tertampak jelas.
“Mas CHandra?” masih dengan senyumnya orang itu bertanya.
“Ya?” jawab CHandra bimbang, darimana nih orang tau nama gua? batin CHandra heran.
“Sendirian?” tanya pria itu ramah.
“...” CHandra merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Sudah jelas dia sendirian di sini kan? Tapi tak urung dia melemparkan senyum. Koran di tangannya yang belum sempat dia baca terpaksa dia lipat demi alasan kesopanan.
“Hm, boleh saya duduk?” lanjut pria itu sambil melirik sofa tunggal yang terletak di depan sudut pandang CHandra.
CHandra mengangguk mempersilakan.
Setelah mendapat posisi duduk yang nyaman, pria itu kembali membuka percakapaan,
“Malam indah kaya gini, tidak semestinya dihabiskan sendirian, kan?”
CHandra mengernyitkan kening. Memandang pria itu lekat dengan tatapan tidak mengerti.
“Saya bisa nyariin temen buat mas CHandra”
CHandra menelengkan kepala, ”Maksudnya?”
“Ya temen. Cewek. Biar mas CHandra ga kesepian”
“Uhm,... maaf. Saya ga ngerti maksud Anda”
“Aahh!! Ga usah sungkan dan berAnda-anda mas CHandra!” pria itu tersenyum sambil mengibaskan tangannya ke udara, “saya beneran niat mo bantu kok. Saya bisa atur semuanya. Nah, mas CHandra pengen ditemenin cewek yang kaya gimana?” desak pria itu meyakinkan.
“???”
CHandra melongo. Heran.
Sebuah getar halus yang berasal dari handphonenya membuatnya kaget hingga berjingkat.
“Sebentar!” kata CHandra sambil buru-buru merogoh saku celana tempat handphonenya tersimpan.

1 message received.
Dari Rico!

“GW YG MINTA TU ORG NWARIN LU. TRIMA AJA. HEHEHE, HAVE A NICE SEX 2!”

Glek. CHandra menelan ludah.
Tanpa mengubah posisi kepala, pandangan matanya beralih dari layer handphone ke sosok pria yang ada di depannya.

Pria itu kini duduk dengan posisi miring. Mengusap-usap dagu dan tersenyum ke arahnya. Matanya menatap CHandra lekat. Menyapu seluruh tubuh CHandra yang lekuknya terpeta jelas lantaran kaos yang dibelinya tadi pagi menempel di tubuhnya cukup ketat.

CHandra gusar. Gelisah. SMS Rico menjelaskan maksud pria itu.
Rico gila. Sinting. Edan. Keparat tuh anak. CHandra tak habis-habis memaki dalam hati.
Tiba-tiba AC lobby terasa panas sehingga membuat CHandra berkeringat. Otot tubuhnya menegang. Bibirnya terkatup memperjelas bentuk rahangnya yang sempurna.

Melihat CHandra diam, pria itu mengubah posisi duduknya.
Menggeser pantatnya hingga ke ujung sofa sambil mendorong maju tubuhnya. Sikunya bertopang lutut dan jemarinya saling bertaut. Senyumnya terus tersungging sementara pandangan matanya tak lepas melumat tubuh CHandra; - pandangan mata yang sungguh membuat CHandra ingin muntah.
Setengah berbisik, pria itu berucap,
Well,...  katanya sambil menggoyangkan kepala,
“Kalau mas CHandra emang ga mo ditemenin cewek,...” dia menggantung kalimatnya sengaja memberi jeda.
Dalam senyumnya, pria itu memainkan lidahnya agar bibirnya basah,
“Saya bersedia nemenin mas CHandra” lanjutnya seraya menegaskan dengan anggukan kepala.

Nafas CHandra tertahan, “ANJRIIIITT!!!”


* END *

Friday, October 8, 2010

Little Story from CHandra - Part 2

DENPASAR. HARI KE-5.
PUKUL 10:45 WITA. [Masih] DI SALAH SATU SUDUT MALL BAGIAN PAKAIAN DALAM COWOK.


Rico mendekat ke arah CHandra yang lagi asyik memilih-milih kaos. Menyerahkan handphone CHandra, lantas memberi komentar pada kaos pilihan CHandra.
            “Keren tuh!”
            “Gimana?” tanya CHandra seraya menerima handphonenya tanpa menggubris komentar Rico.
            “Ya, terpaksa Heri ma Bagas yang besok dateng ke Perhutani. Lu gih telepon Heri! Dia butuh bahan dari lu untuk meeting besok!” jawab Rico ringan.
            CHandra mengedikkan bahu. Mengangguk-angguk, tapi tetap melanjutkan memilih kaos. Setelah merasa kaos yang ada di tangannya sesuai dengan seleranya, dia celingukan mencari pramuniaga counter.
            Dari kejauhan, pramuniaga counter yang melihat tingkah CHandra dan merasa sedang dicari, - tersenyum sambil berjalan mendekat.
            “Ada yang L ga, Mbak?” tanya CHandra sembari menyerahkan kaos pilihannya.
            Pramuniaga itu meraih kaos yang dipilih CHandra,
            “Sebentar ya” lanjutnya kemudian berbalik untuk mencari size yang CHandra maksud.

            Dalam waktu yang tidak lama, pramuniaga itu kembali menemui CHandra.

            “Maaf Mas, yang L kosong. Tinggal yang M”
            “Yang XL?” tanya CHandra.
            “Kosong juga” senyum pramuniaga itu ramah.
            Melihat CHandra ragu menimbang-nimbang, sang pramuniaga buru-buru melancarkan rayuan agar CHandra tidak batal membeli,
            “Dicoba aja, Mas. Ga banyak kok bedanya. Cuma 1 sentimeter lebih kecil dibanding yang L”
            “Tapi ga kekecilan tuh Mbak buat saya?” CHandra masih ragu.
            “Enggak deh kayanya. Lagian kan sekarang lagi nge-trend tuh yang body fit. Ga akan kekecilan-lah. Coba aja dulu” bujuk sang pramuniaga,
            “Itu, fitting-roomnya!” tunjuknya tersenyum manis.
            CHandra mengarahkan pandangan mengikuti arah yang ditunjuk sang pramuniaga. Bersamaan dengan itu handphonenya sekali lagi bergetar.
            Berkedip-kedip dengan nama Heri [lagi] di layar. Pasti mau minta bahan buat besok, batin CHandra yakin.

Pelaku pembicaraan beralih

            “Lu lagi!! Ada apa??” CHandra bernada sok terganggu.
            “Dah dapet underwearnya?” Heri membalas nada itu dengan halus.
CHandra bengong.
            “Lu jauh-jauh cuma mo nanya begituan?” herannya.
            “Gua kan perhatian ma elu CHan” suara Heri masih selembut tadi,
            “Kan tadi gua bilang kalo gua cinta lu nglebihin bini lu!” lanjutnya dengan tawa tertahan.
            “Setan! Ga lucu!” CHandra mengumpat di sela senyumnya nyadar dikerjain.
            “Huahahaha!” Heri tergelak puas.

            Sang pramuniaga – yang meskipun tidak tahu menahu permasalahan umpatan penuh gurau itu – jadi ikut tertular geli. Lantas – tanpa bermaksud mencuri dengar pembicaraan – dia dengan sabar menunggu CHandra selesai menelepon.



                 Dan kalau pada akhirnya CHandra membeli kaos itu, dia bersumpah itu murni lantaran terpaksa. ’Kecelakaan!!’: .... gara-gara Rico!!
                “Ga pa pa. Lu sekali-sekali pake yang body fit apa salahnya?” bujuk Rico tadi, “Badan lu cukup layak dipertontonkan kok!”
                Awalnya CHandra tidak menanggapi komentar itu. Tapi ketika lamat-lamat terdengar tawa cekikikan – yang ditilik dari ragamnya, tawa itu berasal dari kurang lebih tiga orang – CHandra menaruh syak.
                Dia ikuti pendengarannya mencari asal suara. Saat dia menemukan asal suara itu, seketika itu juga dia mendelik. Komentar Rico tadi ditanggapinya dengan tatapan protes.
                Rico nggak ngeh. Dia menanyakan arti tatapan itu dengan tatapan tanda tanya dan mengangkat bahu tak mengerti karena merasa tidak melakukan kesalahan.
                CHandra menjawab kesal ketidakmengertian itu dengan – secara tersamar – menggerakkan ujung mata dan kepalanya ke sebuah arah.
                Baru saja Rico setengah menoleh mengarahkan pandangannya ke arah yang diisyaratkan, sebuah suara bernada manja-menggoda terdengar,
                “Waaa, makin keliatan seksi deh pasti kalo pake baju ketat gitu!”
                Sekumpulan tawa pecah membahana. Bersamaan itu pula pandangan Rico tepat menancap di tempat yang diisyaratkan CHandra.
                Tahulah dia, tawa itu berasal dari sekumpulan ABG yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. Pandangan mereka yang tak terhalang membuat Rico dapat melihat dengan jelas bahwa mereka tengah memperhatikan postur tubuh CHandra yang memang cukup menarik. Mereka melakukan itu secara terang-terangan tanpa mempedulikan CHandra yang menyusut lantaran malu. Di sela tawa, mereka saling berbisik satu sama lain.
                Rico menggerakkan bola matanya – mengalihkan pandangan ke arah CHandra. Wajah CHandra – yang pada dasarnya memang pemalu – tampak tegang dan memerah.
                CHandra menahan nafas.
                Rico menahan tawa.
                “Seksi bo!!” olok Rico lirih ke arah CHandra sambil beranjak menjauh.
                CHandra menghela nafas.
                Rico menghela tawa.
                Pramuniaga yang dari tadi melayaninya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia melayangkan pertanyaan yang bagi CHandra lebih berupa todongan,
                “Saya tulis bonnya ya, Mas?”
                CHandra memaksakan diri untuk tersenyum dan mengangguk.

                Rico ngakak.

                Maka jadilah pagi itu, satu potong kaos terlipat rapi bertumpuk dengan sekotak underwear melengkapi kantong belanjaan CHandra.


    Thursday, October 7, 2010

    Little Story from CHandra - Part 1

    DENPASAR. HARI KE-5.
    PUKUL 10:15 WITA. DI SALAH SATU SUDUT MALL BAGIAN PAKAIAN DALAM COWOK.

    CHandra merogoh sakunya. Mengeluarkan handphonenya yang bergetar dan berkedip-kedip. Nama Heri tertera di layar.

    “CHan?”
    “Yoo?”
    “Hallo? ... Hallooohh?? CHan??”
    “Apaaa!?”
    “Busyet! Rame amat! Lu dimana sih?”
    “Di mall”
    “Pagi-pagi gini?? Ngapain???”
    “Hehehe!” CHandra nyengir, “kita kehabisan underwear!”
    Rico yang ada di samping CHandra dan merasa dilibatkan dalam pembicaraan karena kata ’kita’, tersenyum.
    “Hahahahaha,... emang lu bawa berapa?”
                “Tiga!”
                “Lah? Trus kemaren-kemaren lu ga pake underwear apa?”
                “Yaa,… side A – side B gitulah!” CHandra menjawab lugas malu-malu.

    Dari seberang terdengar tawa Heri semakin meledak,
               
                “Whoakakakakakak!!! Jorok lu ga ilang-ilang!!!”
    Tapi Heri mendadak menghentikan tawanya,
    “Eh? ...” dia menyadari sesuatu
    “Tapi lu ngapain beli segala? Bukannya lu balik hari ini?” ada nada cemas dalam tanyanya.
    “Blom. Penerbangan kita hari ini dicancel " CHandra menjawab ringan.
    “Hahhh??” teriak Heri kaget campur panik,
    “Tapi lu kudu pulang hari ini! Gua dah ngejadwalin kalian untuk meeting ma Perhutani besok!”
    “Lu ga denger gua barusan bilang apa? Penerbangan kita hari ini dicancel, Dodol!!!!” CHandra mulai tidak sabar mendapat tekanan dari Heri.
    “Pake pesawat laen!” Heri ngotot.
    “Penuh!!!” nada CHandra mulai meninggi.
    “Usahain!!!!” tekan Heri lagi.
    “Ya Tuhaaaan,...!" CHandra senewen.
    Seketika CHandra menjauhkan handphone dari telinganya, menatap handphone itu lekat – seakan-akan wajah Heri terpampang di sana,
    “Monyong nih anak!!” umpatnya dengan nada heran. Lantas dia menyerahkan handphonenya ke Rico putus asa.
    “Lu deh yang ngomong! Heri nih!”


    Rico menerima handphone CHandra sambil menyisakan senyum melihat tingkah CHandra tadi.
    “Ya Her?” sapanya lunak.
    “Lu Rik?”
    “Yup”
    “Beneran, kalian ga bisa pulang hari ini?”
    “Iya. Tadi pagi pihak travel ngasih tau, penerbangan kita hari ini dicancel. Kita udah mo beli tiket pake penerbangan laen tapi semua udah penuh”
    “Jadi kapan kalian pulang????” Heri makin panik
    Saking kencengnya, CHandra sampai bisa mendengar pertanyaan Heri di seberang. Kesalnya yang sudah sedikit cair membuatnya tergelitik untuk menggoda Heri. Ditimpalinya kencang-kencang pertanyaan Heri itu,
    “Busyeet!! Bini gua aja ga sepanik lu waktu tadi gua kabarin gua blom bisa balik hari ini”
    Heri yang mendengar teriakan CHandra menangkis,
    “Itu artinya bini lu ga bener-bener cinta ma elu dan merasa kilangan!!! Ga kaya gua!!!” teriak Heri asal yang langsung disambut gelak oleh Rico. Lantas Rico mendorong bahu CHandra pelan. Mengisyaratkan untuk menyudahi acara bercanda itu. CHandra menanggapi dengan cengengesan kemudian beranjak menjauh, - memberi keleluasaan Rico untuk bicara serius dengan Heri.
    Selanjutnya, Rico menjawab pertanyaan Heri yang sebelumnya terpotong,
    ”Yaa, kalo ga dicancel lagi, paling cepet besok kita balik! Ada apa, Her?”

    Jeda.
    CHandra tidak bisa menangkap jelas jawaban Heri.

    “Lu bisa ngejadwal ulang meetingnya ga? Kalo ga, mending lu dateng tanpa kita deh!”

    Jeda.

    CHandra yang sudah mendapatkan underwearnya beranjak menuju salah satu counter kaos cowok yang tidak jauh dari tempat Rico berdiri. Dari posisinya itu, dia lamat-lamat mendengar Rico mendiskusikan rencana bahan meeting besok pada Heri.

    Sekian waktu berselang.

    “Udah. Dari gua itu aja. Lu yang masih kurang jelas yang mana?” tanya Rico di detik-detik akhir pembicaraan.

    Jeda.

    CHandra yakin – saat itu, seperti kebiasaannya dan semua anggota teamnya – Heri pasti sedang mengulang hasil diskusinya bareng Rico tadi.

    Selanjutnya, dia mendengar Rico hanya menjawab pembicaraan Heri dengan kata sepatah-sepatah:

    “Yup!”

    Jeda.

    “Seeppp!!”

    Jeda.

    “Okeeehh!!!”

    Pembicaraan selesai.



    Wednesday, October 6, 2010

    Fact about "Sebentuk Cinta untuk Naia"

    • Cerita ini pernah diikutkan dalam Citibank – Ubud Writing and Readers Festival 2010 - The Flash Fiction Challenge yang diselenggarakan mulai tanggal 17 Agustus – 24 September 2010 dengan judul Ketika Menaklukkan Hati Naia. Di post tanggal 6 September 2010 (telat banget yak :D) dan mendapatkan 53 votes dari sodara, sahabat dan teman2 terbaik (thank you so much for all supports), serta 3 publish comment yang memberi semangat (thank you).
    • Kisah Naia adalah sebuah kisah nyata yang rencana awal akan ditulis dalam bentuk novel. Kisah dari salah seorang sahabat yang juga memberikan vote-nya. Mengirimkan komen pujian via sms yang dibaliknya menyertakan kebesaran hati untuk benar2 merelakan Naia “pergi”.(Thank you, Bro. Untuk mau berbagi dan percaya bahwa aku bisa 'menjawab' semua gundah hati. Kuatkan diri yah,... dengan selalu mengingat lirik 'kamu': "some of the God's greatest gifts are unanswered prayers")
    • Cerita yang harus dibuat hanya dalam 350 kata ini selesai dalam waktu kurang lebih 5 jam (incl. gangguan-gangguan macam terima telp, buka pintu tiap ada tamu, bales sms, bales message ym, dll)
    • Akhir kata, pesan buat 'Sang Pemilik Cerita' (andai suatu saat dia berkunjung di blog ini): Semoga kisah Naia bisa terwujud dalam novel dan menjadi inspirasi. (Yang sabar nunggu yee...)

    Sebentuk Cinta untuk Naia

    Dia bukan seperti perempuan kebanyakan yang mau menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdandan, namun justru cantik yang berbalut kesederhanaan dan kenaturalan itulah yang membuat dia terlihat lebih sempurna diantara perempuan-perempuan lain yang kukenal. Dia juga bukan tipe perempuan yang memanfaatkan kecantikan untuk menarik perhatian dengan sikap dan gaya menggoda. Karena sungguh! Dia tidak perlu melakukan itu: diamnya cukup mampu membuat para lelaki terkapar luluh.


    Namanya: Naia. Tapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan ’Nay’ saja. Perempuan yang aku puja, yang menjadi cahaya dalam gelapku.


    Berawal dari 60 bulan yang lalu saat menjabat tangan Nay – berkenalan. Awal yang tidak memiliki arti sama sekali hingga saat tujuh malam berturut-turut sesudahnya, sosok Nay menghiasi mimpiku. Mimpi yang akhirnya mengubah rasa yang ’tidak berarti’ itu menjadi ’sedikit berarti’. Rasa ’sedikit berarti’ yang kemudian membuat aku merasa ’terpanggil’ mendekati Nay untuk mencari tahu makna di balik mimpi itu. Rasa yang kemudian berubah menjadi cinta dan kian meraja tumbuh dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya pengenalanku terhadap seorang Naia.


    Namun Naia adalah sebuah hati yang begitu sulit dimiliki. Kelemahlembutannya ternyata bukan refleksi bahwa hatinya mudah diraih.


    Tidak kurang dari lima tahun aku berusaha menaklukkan hatinya. Segala cara telah terupaya untuk meyakinkan dia bahwa aku sungguh cinta. Lima tahun tanpa hasil namun sama sekali tidak membuatku merasa telah melakukan hal yang sia-sia. Sebab bagiku, Nay adalah sosok yang layak untuk diperjuangkan dan pantas mendapatkan itu semua.


    Aku sunguh ingin memiliki dia!


    Hingga saat aku tersadar bahwa aku telah sampai pada titik pencarian makna di balik memimpikan Naia 60 bulan yang lalu. Sebuah jawaban yang sekian lama aku cari:


    Tuhan menghadirkan Naia dalam hidupku bukan untuk aku miliki. Tapi untuk mengenalkan aku pada sebuah bentuk lain dari sebuah cinta yang sangat indah,


    Cinta sejati. Cinta tulus tanpa pamrih. Cinta tanpa syarat.


    Maka, aku memutuskan melepas Naia dalam kebebasan tanpa terganggu upayaku meyakinkan cinta!


    Nay, bila nanti aku mendapat kesempatan untuk memilih, aku tidak akan berpikir dua kali untuk memilihmu. Tapi bila ternyata aku memang harus dihadapkan pada kenyataan yang tidak berpihak, sekuatnya aku akan berusaha menegarkan hati dan meyakini, bahwa inilah yang terbaik, … untukmu, (bukan untukku!)

    Monday, October 4, 2010

    Upaya Utama Menuju Menjadi Pelangi

    Hal pertama yang aku lakukan saat dokter menyampaikan bahwa ayahanda telah berpulang adalah memeluk dan mencium kaki ayahanda. Leleh airmataku mengalir tanpa suara. Sesal yang menggema dalam dada adalah lebih karena aku belum bisa membahagiakan beliau. Meski jika telah kuserahkan seluruh hidupku, apa yang sudah ayahanda berikan padaku tak akan lunas terbayar.
              : Aku membeku.

    Ada sesuatu yang hilang. Esok, tergambar jelas tak ada lagi pelukcium ayahanda. Tak ada lagi belaian beliau di kepalaku kala aku gundah. Tak ada lagi sosok tempat aku bisa merebah lelah.
              Orang yang paling aku banggakan telah tiada.

              Bunda.
    Hanya pada beliaulah kini segalanya tercurah. Walau aku tahu, andai raga ini sampai bersimbah darah dan jiwa ini tak lagi beraga, tak 'kan membalas apa yang telah aku terima: karena pada beliaulah aku berhutang nyawa.

    Maka sebagai upayaku menuju menjadi pelangi - sekaligus sebagai wujud baktiku pada bunda; AKU AKAN LEBIH MEMBAKTIKAN DIRI.
             
              Pada Sang Mutlak aku memohon: Bimbing hamba meraih surga di bawah telapaknya Ya Allah. Hamba ingin bunda selalu tersenyum.

    Saturday, October 2, 2010

    Menjadi Pelangi


    Ketika membaca buku dalam upayaku untuk 'mendekati Tuhan' dan menemukan kalimat: "Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan banyak manfaat untuk manusia lain", 
         : aku ingin menjadi pelangi.

    Sebab saat sebuah pertanyaan menyeruak: sudah seberapa banyak manfaat yang aku berikan untuk orang-orang di sekitarku?
    aku menemukan bahwa jawaban dari pertanyaan itu adalah: tak banyak!!!

    Andai Sang Pemberi Hidup menggariskan sisa waktu yang aku punya hanya sampai 'hari' ini, sungguh, - itu artinya aku tak lagi punya waktu untuk mencoba meningkatkan kemanfaatanku bagi manusia lain.

    Tapi aku mencoba meyakini bahwa 'hari' ini masih panjang. Masih ada beberapa jam di depanku yang membentang. Kalaulah memang aku tidak memungkinkan untuk mewujudkan keinginanku menjadi pelangi; paling tidak, di sisa waktuku, aku berusaha untuk menuju menjadi pelangi.

    Semoga!