Thursday, April 26, 2012

Don’t Judge the Book by its Cover!

Dalam bebrapa hari terakhir ini (tepatnya 2 hari ini) aku mendadak diingatkan pada kata-kata bijak di atas.  Sebab ada beberapa kejadian yang membuat aku jadi ingat kalimat tersebut.

Kejadian pertama dari cerita ‘mama Intang’ tentang profil tetangga belakang rumah yang meninggal:
“Sebelumnya aku nyangka pak Tony tu galak. Tampangnya kan serem gitu.  Tapi ternyata orangnya lucu!”

Yang kedua waktu bunda telepon memberi tahu tentang kedatangan tamu ‘dede Dahyang’:
“Mama kok takut ya ngliat tampang dan penampilannya”

Dari dua kejadian itu, aku jadi merasa ada yang ‘aneh’.
Bukankah sebenarnya kita seringkali diingatkan [bahkan mengingatkan] untuk tidak menilai orang dari luarnya saja?  Tapi nyatanya, -- tanpa kita sadari, kita kerap melakukan hal itu. Ya kan?
: Menganggap orang gondrong dan bertato adalah preman; Cewek cantik pasti mudah mencari pasangan;  barang murah itu pasti jelek n gampang rusak [hehehe, klo yang terakhir ini emang sering benernya yah?]

Aku jadi teringat cerita seorang teman yang mengakui betapa mudah dia jatuh cinta karena hampir selalu menilai orang dari luarnya saja. Konsekuensinya, dia kerap kecewa dan sering berganti pasangan. Lain lagi kisah seorang teman, yang seringkali mendapatkan tatapan heran lantaran dia adalah adik kandung dari seorang pejabat -- sementara dia tidak ‘layak pandang’.

Aku tersenyum kala menyadari bahwa ternyata kita tidak pernah benar-benar bisa untuk tidak menilai orang dari luarnya saja.


||[]||
- this was written to reminder: not to judge the book by its cover -

Monday, April 23, 2012

Materi >< Iman

Tidak bisa kita pungkiri jika selama ini, pola pikir yang terbentuk dalam masyarakat untuk mengukur keberhasilan seseorang adalah dari sukses atau tidaknya seseorang itu. Dan sukses di sini [biasanya] diukur dari materi yang dimiliki.

Si A dianggap sukses karena mempunyai rumah yang super mewah.
Si B sukses karena memiliki mobil lebih dari lima.
Si C sukses seiring dengan semakin banyaknya membuka cabang usaha.

Tiba-tiba saya berpikir, mungkinkah kesuksesan diukur dengan tipe indikator yang lain?

Si A dianggap sukses karena dia sangat jujur.
Si B sukses karena tidak pernah ingkar.
Si C sukses karena selalu rendah hati.

Jawaban saya adalah: BISA!

Sebab, keimanan sebagai indikator lain dari sukses [dengan indikator materi] rasanya sangat diperlukan mengingat masih ada orang-orang sukses [dengan indikator materi] yang minim iman. [Eits! saya bilang 'masih ada'... itu artinya 'tidak semua'!]

Mengapa saya mengatakan masih ada orang sukses [dengan indikator materi] yang minim iman?

Beberapa yang saya temui rata-rata melupakan kewajiban ibadah untuk mengejar materi; melupakan sedekah untuk memenuhi target melengkapi daftar kepemilikan kekayaan;  beranggapan bisa melakukan dan mendapatkan apapun dari kekayaan yang dimilikinya; bersifat arogan, superior, dan menanggalkan nilai-nilai santun.

Saya membayangkan betapa indahnya jika kesuksesan seseorang diukur dari kepemilikan materi sekaligus ketebalan iman --- Jadi meskipun seseorang itu bergelimang harta namun imannya masih di level bawah, maka dia belum bisa dikatakan sukses sepenuhnya.

Namun bagaimana jika tingkat indikator itu diubah?
Keimanan dijadikan tipe indikator utama?

Karena menurut saya, keberlimpahan materi bisa jadi membuat orang lupa dari SIAPA semua kenikmatan itu berasal. Sementara ketebalan iman Insya Allah tidak akan pernah luntur oleh kekayaan dalam bentuk apapun!


:|:|:

Grin
Apabila kamu tidak bisa berbuat kebaikan kepada orang lain dengan kekayaanmu, maka berilah kebaikan dengan wajahmu yg berseri, disertai akhlak yang baik
(Nabi Muhammad)

Ada Kabar Baik?

Aku terkesan sekali ketika seorang teman menjawab sapaku dengan pertanyaan itu.
Tapi yang lebih membuatku terkesan justru jawaban yang aku lontarkan atas pertanyaan itu.

"Selalu ada kabar baik Dy, semua kejadian harus kita anggap baik buat kita kan?"

Hohoho, ga nyangka yah aku bisa melontarkan jawaban yang begitu bijak!
Tapi bisa jadi jawaban itu merupakan buah dari belajarku menuju dewasa. Dan syukurlah bila ternyata pembelajaran menuju dewasa yang selama ini aku tempuh tidak sia-sia.

Selanjutnya, tugasku sekarang adalah mempertanggungjawabkan jawaban itu!

Bahwa aku harus benar-benar bisa menganggap semua kejadian yang aku alami adalah baik buatku.
Meyakini bahwa Allah adalah Maha Benar atas segala yang terbaik buatku.
Membuang jauh-jauh segala bentuk prasangka buruk atas apa yang sudah Allah tetapkan demi kebaikanku.
Selalu ikhlas, penuh syukur, dan tawakal.

Dan jika suatu hari nanti, teman yang aku panggil dengan sebutan 'Dy' itu kembali bertanya: 'Ada kabar baik?'

Aku akan mantap menjawab: 'Semuanya baik Dy!'

Animated Emoticons

:|:|:

"Seseorang yang melihat kebaikan dalam berbagai hal berarti memiliki pikiran yang baik. Dan seseorang yang memiliki pikiran yang baik mendapatkan kenikmatan dari hidup"
(Bediuzzaman Said Nursi)

Tuesday, April 10, 2012

Betapa Baiknya Allah

"Maka renungkanlah betapa begitu baiknya Allah merawat jiwa kita dalam cahaya hidayah. Membandingkan dengan orang-orang yang belum mendapat hidayah, kita akan banyak bersyukur. Sehingga anda yang hari ini mendapati jiwa ringan diajak sholat maupun bersedekah, melakukan kebaikan-kebaikan tak perlu terlalu bersedih ketika nikmat lain tak jua kunjung menghampiri. Bila Allah bersama kita, selainnya tidak ada yang lebih penting" [NH edisi 99, April 2012 hal. 8]

Membaca artikel itu membuat mataku sejenak kabur oleh genangan air mata.
Bagaimana tidak? Aku seolah diingatkan pada sebuah kenyataan bahwa ternyata aku masih saja belum bisa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah beri. Sifat manusiaku yang kerap merasa 'kurang' membuatku kehilangan rasa syukur itu. Padahal sudah berapa banyak Allah memberikan nikmat padaku? Banyak! Tak terhitung!

Lalu aku rindu bersujud.

Mengucap takbir dengan khusyuk. Kembali melantunkan syukur dengan hati yang benar-benar tunduk.

Aku mengulang membaca kalimat terakhir artikel itu:
"Bila Allah bersama kita, selainnya tidak ada yang lebih penting"

Sungguh!


::||::