Sunday, December 26, 2010

Memaafkan

Ketika aku menginjakkan kaki di tempat itu dan mendapatkan tatapan sinis yang 'menelanjangi' dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku menyadari bahwa bagi orang-orang itu aku adalah 'sampah'.

Namun sebagai 'sampah' yang dari awal memang tidak merasa 'kesampahan'nya, aku mendatangi mereka dengan tetap menegakkan kepala, memberikan senyumku sebagai bentuk sedekah, dan sapaan tulus meski berbalas buangan muka.

Beberapa waktu setelah kejadian itu berlalu aku mempertanyakan dari mana asal keberanianku menghadapi mereka. Dan jawaban pasti dari hatiku adalah keberanian itu berasal dari kebenaran yang ada.

Jadi bukan lantaran aku sombong, - bukan pula karena aku tak punya rasa malu maka aku berani menghadapi dan mematahkan tatapan sinis mereka kala itu. Namun keyakinan bahwa aku benar lah yang mampu menepis rasa mundur.

Mungkin aku kalah dalam kesendirian di mata mereka. Tapi ijinkan aku berbangga sekarang; karena dalam senyum aku justru merasa aku lah sang pemenang.


Semulia-mulia manusia ialah ia yang mempunyai adab yang baik, merendahkan diri ketika ia berkedudukan tinggi, memaafkan ketika ia mampu membalas, dan bersikap adil ketika ia memliki kekuatan.
(Khalifah Abdul Malik bin Marwan)

No comments:

Post a Comment