Tuesday, January 19, 2016

Mengenang Bapak



Kamis, 18 Januari 2001

Nasi goreng pesananku untuk makan siang belum datang ketika pesawat telepon di mejaku berdering.

Dari bapak.
     "Jam berapa pulang?"

 Aku menanggapi sambil lalu,
     "Ya ntar lah. Sore,"
     "Sekarang masih jam berapa?" lanjutku dalam nada tanya.
 Bapak dari ruang lain menimpali,
     "Bapak mau pulang sekarang. Maksud bapak, kalau Ira bisa pulang sekarang, bapak mau bareng Ira"
Aku bersikukuh,
     "Ga bisa Pak. Ira baru bisa pulang sore"
     "Ya udah, bapak naik taxi aja" jawab bapak datar.

Pembicaraan berhenti.
Aku meneruskan aktifitasku. Hanya lima menit, ketika tiba-tiba aku merasa capek menatap layar monitor dan berkeinginan sejenak melihat keluar jendela untuk mendinginkan mata.

Saat itu, dari tempatku berdiri di lantai dua, aku menangkap bayangan bapak -- yang terpantul dari jendela mobil yang terparkir paling dekat dengan koridor -- tengah melangkah dengan gagah.

     Aku terkesiap!
     Ada semacam aliran listrik yang menjalari tubuhku. Perasaanku teraduk.
     Aku merasa tertuntut untuk memenuhi permintaan bapak.
     Seketika aku melesat keluar ruangan berusaha secepat mungkin mengejar bapak.

     "Bapaaakkk!!" panggilku terengah,
     Aku melihat bapak memutar tubuhnya dan melempar senyumnya ke arahku.
     "Ira bisa pulang bareng Bapak. Tapi bapak tunggu sebentar gak pa pa ya? Ira pesen nasi goreng buat maem siang. Belum dateng. Bentar lagi kok. Ntar setelah Ira maem kita pulang. Ya?"

     Bapak mengiyakan.
     Kurang lebih lima belas menit kemudian aku sudah berada di loby gedung menemui bapak -- yang waktu itu sedang berbincang dengan beberapa rekan kerja beliau ketika masih aktif berdinas -- siap mengantar bapak pulang.

     "Mampir dunia buah ya. Adek pesen dibeliin Apel" ajak bapak ketika kami sudah berada di mobil.

     Siang itu, aku melewati satu momen indah lagi bersama bapak.


Jumat, 19 Januari 2001

Tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa bapak akan pergi hari itu. Kondisi kesehatan bapak boleh dikatakan cukup baik. Namun jika Sang-Pemilik-Nyawa berkehendak untuk memanggil, apalah daya kita?

Siang itu, sepulang sholat Jumat, bapak mengeluh sakit kepala. Kejadiannya begitu cepat. Bapak bahkan belum sempat berganti baju. Ketika bapak istirahat di kursi tempat beliau biasa duduk, mas Ipri -- kakak laki-lakiku yang saat itu menemani bapak di rumah -- menemukan bapak terkulai dengan nafas tersengal.

Aku segera melesat pulang ketika mas Ipri menelepon dan menceritakan kondisi bapak.
Seperti pengalaman yang sudah-sudah. Kami sekeluarga harus siap dihadapkan pada situasi seperti itu. Situasi ketika kondisi bapak drop karena penyakit kanker hati yang bapak derita. Sewaktu-waktu bapak kambuh, kami harus siap mengantar bapak ke rumah sakit secepatnya.

Sama sekali tidak terbersit bahwa ternyata hari itu adalah kali terakhir kami harus mengantar bapak ke rumah sakit.

Bapak tidak tertolong.

Bukan karena kanker hatinya. Dokter mendiagnosa ada kemungkinan bapak terkena serangan jantung.

Ya Allah, rasanya baru kemarin bapak menelepon hamba untuk mengajak pulang. Rasanya baru kemarin hamba melihat bayangan bapak sedang berjalan dengan gagah. Baru kemarin hamba bercengkerama dengan bapak di mobil; mampir ke toko buah dan memilih Apel bersama-sama dengan penuh canda.

Rasanya baru kemarin.
Semua masih tergambar dengan jelas.

Bahkan bagaimana bentuk Apel yang tertata rapi di atas meja makan -- yang belum tersentuh sehari setelah bapak berpulang -- masih terbayang di pelupuk mata.


...



Hari ini, genap 15 tahun bapak meninggalkan kami.

     Yang sangat aku syukuri dan menjadi penghiburku adalah aku memutuskan pulang bersama bapak siang itu! -- Karenanya aku memiliki satu lagi kenangan kebersamaan dengan bapak, sebelum aku tidak bisa lagi menikmati dan memilikinya.

:::[]:::


#bapak
#ayahanda
#kangenbapak

No comments:

Post a Comment