Ali bin Abi Thalib
Para pemberontak meminta Ali menjadi
khalifah. Mereka akan melibatkan Ali dalam kasus berdarah ini. Tapi Ali dengan
tegas menolak pencalonan itu. Ia tahu fitnah sedang menyebar kemana-mana dan ia
tak sanggup mengatasi. Orang-orang lalu mendatangi Talhah. Tapi Talhah juga
menolak. Mereka mendatangi Zubair, tapi juga menolak.
Kemudian mendatangi Abdullah bin
Umar, juga menolak. Tak ada sahabat Nabi yang bersedia menjadi khalifah. Kalau
Ali yang mempunyai banyak keunggulan saja menolak, apalagi yang lain.
Tapi negara memerlukan seorang
pemimpin. Keadaan makin kacau. Ada
gejala tiap daerah akan membuat khalifah sendiri-sendiri. Bahaya besar telah
mengancam. Maka sekali lagi orang-orang mendatangi Ali. Juga para sahabat
terkemuka yang arif.
Dengan berat hati, Ali akhirnya
menerima jabatan menjadi khalifah. Masyarakat pun melakukan baiat, sumpah
setia. Pada masa itu, baiat merupakan cara pengangkatan sebagai khalifah.
Ali yang cerdas, jujur, adil, tegas,
dan penasihat utama pada Khalifah Abu Bakar dan Umar segera bertindak cepat.
Para gubernur dari keluarga Usman yang hidup mewah diganti. Semua patuh kecuali
Muawiyah, Gubernur Siria. Muawiyah menyusun pasukan untuk sewaktu-waktu
menghadapi serangan. Ia menuduh Ali berada di belakang pemberontak pembunuh
Usman. Baju Usman yang penuh darah diarak keliling dari kota ke kota untuk membakar emosi massa .
Singkat cerita, terjadi perang
saudara. Muawiyah dengan Ali. Pasukan Muawiyah terdesak. Segera Muawiyah minta
damai dan berunding, tapi dalam perundingan ini wakil Ali yang jujur dikibuli.
Pengikut Ali kecewa berat, bukan saja pada kelicikan Muawiyah tapi juga sikap
Ali yang mau berunding ketika sudah di ambang pintu kemenangan. Maka kelompok
yang kecewa ini memutuskan membunuh tiga orang yang terlibat perundingan yaitu,
Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash.
Muawiyah dan Amr bin Ash lolos dari
pembunuhan. Namun Ali berhasil dibunuh pada dini hari ketika menuju masjid
mengimami shalat Subuh. Sepeninggal Ali, Muawiyah kekuasaannya dengan cara
kerajaan bahkan kekaisaran.
Kembali soal suksesi, Nabi Muhammad
tak memberikan petunjuk teknis. “Engkau lebih tahu tentang urusan duniamu,”
kata Nabi. Namun jika yang disebut demokrasi intinya partisipasi dan
emansipasi, maka sesungguhnya proses suksesi masa khulafaur rasyidin sudah
sangat demokratis.
[ABIS DAH!]
No comments:
Post a Comment