Thursday, March 10, 2016

Saat Tahu De Intan akan Menikah



Aku masih menangis setiap mengingat kejadian itu meski sudah berselang sepuluh tahun yang lalu.
-- Saat ketika bunda [didampingi mas Ipri] mengajak aku 'bicara' tentang pernikahan de Intan.

Bukan!
Bukan karena aku tidak suka de Intan menikah lebih dahulu. Bukan itu!

Memang. Ketika awal mendengar rencana pernikahan de Intan, ada perasaan perih [Aduuh, aku dilangkahin]. Hal lumrah [menurutku] yang akan dirasakan oleh seorang kakak jika mengetahui adiknya akan menikah lebih dulu. Tapi Alhamdulillah, insyaAllah aku ikhlas menerima kenyataan itu.
Namun perasaan perih yang hanya beberapa hari aku rasakan tak kunjung pulih justru lantaran sikap bunda yang merasa 'kasihan' padaku.
Jujur saja aku jengah!

Bunda -- dengan alasan tidak mau menyakiti perasaanku -- secara sembunyi-sembunyi mengurus segala hal untuk persiapan pernikahan de Intan. Dengan alasan menjaga perasaanku, bunda tidak melibatkan aku dalam urusan persiapan pernikahan de Intan. Sewa gedung, mengurus catering, menghubungi perias, semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hingga akhirnya tiba saat bunda memutuskan untuk mengajak aku 'bicara' karena merasa sudah waktunya perlu melibatkan aku dalam proses persiapan pernikahan itu.

Malam itu. Di kamar bunda.
Hanya ada kami bertiga. Aku, bunda, dan mas Ipri.
Bunda memulai pembicaraan itu dengan maksud supaya aku tegar dan menerima kenyataan meski mungkin pahit. Aku hanya bisa mendengarkan dengan kepala tertunduk.
     Sampai saat mas Ipri bertanya dalam bahasa Jawa,
     "Wis, saiki ngomongo opo sing mbok rasakno"

Mendengar pertanyaan itu. Hatiku mencelos. Ada yang sesak dan ingin menerobos keluar namun terhalang. Saat itulah air mataku menetes.
Bunda panik. Mungkin bunda menganggap aku tidak ikhlas menerima kenyataan itu dan akan mengajukan protes.
   
Melihat aku belum menjawab, Mas Ipri mendesak dengan lembut,
     "Ngomongo, ojok dipendem dhewe"
Bunda dengan lembut ikut mendesak juga,
     "Apa yang Ira rasakan?"
Sekuat hati aku memaksa menjawab meski leherku tercekat. Hingga lirih aku berujar,
     "Ira takut, Ma" suaraku bercampur isak dan sesak
     "Wedi? Wedi opo??" Mas Ipri heran. Begitu pula bunda meski tak terucap.
Dan aku semakin tidak bisa menahan perasaan. Air mataku kian tak terbendung. Tumpah.
     "Ira takut kayak mbak Beng*,...." jawabku akhirnya.

Bunda terpekik,
     
     "Ya Allah.... Astaghfirullah! Istighfar nak! Mana ilmu agama yang selama ini Ira pelajari? Istighfar!"
   
Aku yang sudah terbawa emosi seolah tak mempedulikan pertanyaan bunda. Aku terus meluapkan perasaanku,
     "Mama punya mas, Ira dan ade. Mas Ipri punya Ici**, de Intan sebentar lagi nikah. Ira sendirian. Ira ga punya siapa-siapa. Ira takut. Ira ga mau kaya mbak Beng"

Tangisku semakin deras. Begitu pula isakan bunda.
Bahkan saat kemudian mas Ipri merengkuhku. Memelukku erat dan menghiburku dalam isaknya,
     "Koen duwe mas de. Koen sik duwe mas! Wis yo, Cup. Wis, ga usah wedi!"

Sungguh.
Aku masih bisa merasakan aura kejadian itu sampai sekarang.
Bagaimana usaha bunda untuk menguatkan aku, meski aku tahu sebenarnya saat itu bunda juga rapuh. Pun bagaimana kasih sayang mas Ipri yang terlihat dari tetesan air matanya untukku.
Aku masih bisa merasakan!



::[]::


_________________________
*mbak Beng adalah keponakan bunda yang masih single sampai beliau menutup mata
** Ici adalah putra semata wayang mas Ipri



#Kenangan
#ILoveYouMom #Mama
#MyBrother
#MySister

No comments:

Post a Comment